Hakikat Kemerdekaan
Jumat, 29 November 2013
0
komentar
لَئِنْ شَكَرْتُمْ
لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (ni’mat-Ku),
maka sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih.” (QS Ibrahim ayat 7)
Kemerdekaan merupakan salah
satu karunia besar dari Allah subhaanahu wa ta’aala kepada
hamba-hambaNya. Ia merupakan ni’mat urutan kedua sesudah ni’mat kehidupan. Namun ia tetap berada
pada satu urutan di bawah ni’mat termahal, yakni ni’mat keimanan. Sebagaimana
ni’mat-ni’mat lainnya Allah subhaanahu wa ta’aala memerintahkan
kita untuk mensyukurinya. Sebab mensyukuri
ni’mat akan menghasilkan pelipatgandaan ni’mat itu sendiri.
Sedangkan kufur ni’mat akan menyebabkan ni’mat itu
berubah menjadi sumber bencana bahkan azab.
Sebagian ‘ulama
mendefinisikan syukur ni’mat sebagai
استعمال النعمة في الطاعة لزيادة النعمة
“memanfaatkan ni’mat di jalan
ketaatan sehingga ni’mat tersebut bertambah.”
Apabila kita sebagai
suatu bangsa pandai memanfaatkan ni’mat kemerdekaan dengan menjalani kehidupan
berbangsa, bermasyarakat dan bernegara penuh dengan berbagai program ketaatan
kepada Allah subhaanahu wa ta’aala, niscaya ni’mat
tersebut akan Allah subhaanahu wa ta’aala tambah kepada kita semua. Namun
sebaliknya bilamana kemerdekaan itu kita sikapi dengan menjalani kehidupan
berbangsa, bermasyarakat dan bernegara jauh dari tuntunan ilahi, maka sudah
sewajarnya ni’mat kemerdekaan malah terasa menjadi sumber bencana dan bahkan
azab.
Adalah suatu ironi
bila sebagai suatu bangsa yang berjuang berabad-abad mengusir para penjajah
kafir Inggris, Portugis, Belanda dan Jepang dengan semangat takbir Allah Maha
Besar…
الله اكبر
.. lalu saat meraih
kemerdekaan justru membesarkan faham nasionalisme-materialisme-sekulerisme dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Masihkah kita perlu heran mengapa setelah
hidup di alam kemerdekaan berpuluh tahun justru kita sebagai bangsa semakin
terpuruk? Bukankah apa yang sedang kita alami sekarang hanyalah sebuah bukti
kebenaran firman Allah di atas? ”… dan jika kamu mengingkari
(ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” Mengingkari ni’mat
maknanya di sini adalah tidak memanfaatkan ni’mat kemerdekaan di jalan
Allah subhaanahu wa ta’aala, artinya tidak menjadikan Islam
(ajaran Allah subhaanahu wa ta’aala) sebagai landasan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita lebih percaya dan bangga dengan man-made ideology daripada way of life yang telah
digariskan Allah subhaanahu wa ta’aala. Padahal saat
sedang terjepit oleh para penjajah hanya Allah subhaanahu wa ta’aala yang
kita panggil dan mohonkan pertolonganNya.
Menurut seorang ‘ulama
hakekat kemerdekaan atau kebebasan adalah:
كون الإنسان عبدًا لله خلقا و شعورًا و خلقا
“keberadaan manusia sebagai
hamba Allah baik dari sudut penciptaan, perasaan maupun akhlaq.”
Artinya, seorang
manusia, menurut pandangan Islam, barulah akan disebut merdeka bilamana ia
sadar dan berusaha keras mamposisikan dirinya selaku hamba Allah subhaanahu wa ta’aala saja dalam segenap dimensi
dirinya, baik penciptaan, perasaan maupun akhlaq. Dan segera ia akan divonis
tidak merdeka atau belum merdeka bilamana ia masih menghambakan dirinya kepada
selain Allah subhaanahu wa ta’aala.
Atau, dengan kata lain,
kemerdekaan seseorang atau suatu bangsa sangat ditentukan pada seberapa besar
upaya individu atau bangsa tersebut menjadikan kalimat tauhid
لآ إله إلا الله
Sebagai motivator dan inspirator utama pembebasan
diri atau bangsa dari dominasi apapun atau siapapun selain Allah subhaanahu wa ta’aala. Dan pada dasarnya inilah yang telah
dida’wahkan oleh Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam dan
oleh segenap Nabi dan Rasul lainnya dahulu kala. Tak ada seorangpun Rasul yang
diutus Allah kepada ummat manusia melainkan menyampaikan pesan abadi dan
universal untuk ”hanya menyembah Allah dan menjauhi thaghut (syaithan)”.
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguhnya Kami telah
mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja),
dan jauhilah Thaghut itu” (QS An-Nahl ayat 36)
Ini pula yang telah
disampaikan oleh sahabat Rib’iy bin Aamer radhiyallahu ‘anhu saat
beliau diutus khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu untuk
bernegosiasi bilateral dengan negara adidaya Persia. Rib’iy berkata kepada
Panglima Persia Rustum:
ابتعثنا الله لنخرج الناس من عبادة العباد لعبادة الله وحده
“Kami (umat Islam) diutus Allah
untuk mengeluarkan manusia dari penghambaan sesama hamba untuk menghamba kepada
Allah semata.”
Sehingga
Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam berhasil dengan
gilang-gemilang mengeluarkan bangsa Arab dari kubangan kegelapan jahiliah
kepada kecemerlangan kehidupan dan peradaban di bawah naungan ridho Allah ‘Azza wa Jalla. Sehingga tampillah suatu masyarakat
berperadaban baru yang menyerahkan segenap dimensi kehidupannya mengikuti
apa-apa yang diturunkan Allah subhaanahu wa ta’aala.
Sehingga lahirlah suatu ummat terbaik (khairu
ummah) yang tidak mencintai, mentaati serta merasa takut kepada apapun
dan siapapun selain kepada Allah subhaanahu wa ta’aala.
Dikutip dari :
http://www.eramuslim.com/suara-langit/penetrasi-ideologi/hakikat-kemerdekaan.htm#.UpiS09JdVFE
http://www.eramuslim.com/suara-langit/penetrasi-ideologi/hakikat-kemerdekaan.htm#.UpiS09JdVFE
0 komentar:
Posting Komentar