HMI MEDIS UMM

Larangan Tajassus, Mencari-Cari Kesalahan Orang Lain

Posted by J Selasa, 21 Januari 2014 0 komentar
Alhamdulillah segala puji hanya milik Allah Ta’ala, salawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan pengikutnya yang teguh menjalankan sunah-sunahnya.
Islam merupakan agama yang sempurna dan sangat menghormati hak dalam bersaudara antara sesama manusia. Karena itu, Islam sangat menjamin hak-hak setiap individu maupun masyarakat dan melarang perbuatan yang menyerempet kepada hak-hak pribadi maupun aib dari setiap manusia. Salah satu perbuatan atau sikap yang buruk adalah tajassus. Apa itu tajassus? Tahukah kalian apa itu tajassus? Mari kita simak sedikit demi sedikit.

Pengertian Tajassus

Tajassus kalau dalam istilah kita dinamakan dengan memata-matai (spionase) atau mengorek-orek berita. Sehingga dalam lingkungan pesantren kata itu sering kali digunakan dan menyebutnya sebagai ‘jaasuus’ atau mata-mata.
Namun dalam kamus literatur bahasa Arab, misalnya kamus Lisan al-‘Arab karangan Imam Ibnu Manzhur, tajassus berarti “bahatsa ‘anhu wa fahasha” yaitu mencari berita atau menyelidikinya.[1]
Sementara dalam kamus karangan orang Indonesia, misalnya dalam kamus Al-Bishri, tajassus berasal dari kata “jassa-yajussu-jassan” kemudian berimbuhan huruf ta di awal kalimat dan di-tasydid huruf sin-nya maka menjadi kata “tajassasa-yatajassasu-tajassusan” yang berarti menyelidiki atau memata-matai.[2]
Dari pengertian tersebut, maka bisa kita tarik kesimpulan bahwa tajassus adalah mencari-cari kesalahan orang lain dengan menyelidikinya atau memata-matai. Dan sikap tajassus ini termasuk sikap yang dilarang dalam Alquran maupun hadis.

Larangan Bersikap Tajassus

Larangan dari Alquran
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” (Al-Hujurat : 12)
Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala melarang kita untuk mencari-cari kesalahan orang lain. Entah itu dengan kita menyelidikinya secara langsung atau dengan bertanya kepada temannya. Tajassus biasanya merupakan kelanjutan dari prasangka buruk sebagaimana yang Allah Ta’ala larang dalam beberapa kalimat sebelum pelarangan sikap tajassus.
Larangan dari hadis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَتَدَابَرُوا وَلاَتَبَاغَضُوا وَكُوْنُواعِبَادَاللَّهِ إحْوَانًا
Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.”[3]

Perkataan Ulama Salaf tentang Tajassus

Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata,
(( ولا تظنَّنَّ بكلمة خرجت من أخيك المؤمن إلاَّ خيراً، وأنت تجد لها في الخير مَحملاً ))
“Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik.”[4]
Syekh Abu Bakar bin Jabir al-Jazairi rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat ke 12 dari surat Al-Hujurat, “haram mencari kesalahan dan menyelidiki aib-aib kaum muslimin dan menyebarkannya serta menelitinya”[5].
Syekh As-Sa’di rahimahullah berkata, “janganlah kalian meneliti aurat (aib) kaum muslimin dan janganlah kalian menyelidikinya.”[6]
Murid dari Syaikh as-Sa’di yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah juga berkata, “tajassus yaitu mencari aib-aib orang lain atau menyelidiki kejelekan saudaranya”[7].
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh juga menuturkan ketika menafsirkan ayat di atas sebagai berikut, “maksudnya adalah atas sebagian kalian. Kata ‘tajassus’ lebih sering digunakan untuk suatu kejahatan. Sedangkan kata ‘tahassus’ seringkali digunakan untuk hal yang baik. Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala, yang menceritakan tentang nabi Ya’qub ‘alaihissalam, di mana Dia berfirman dalam surat Yusuf ayat 87.
يَا بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ
(Ya’qub berkata) “Wahai anak-anakku, pergilah kalian, carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya…” (QS. Yusuf: 87)
Namun terkadang kedua kata tersebut digunakan untuk menunjukkan hal yang buruk, sebagaimana ditegaskan dalam hadis sahih di atas.”[8]
Imam Abu Hatim al-Busti rahimahullah berkata, “tajassus adalah cabang dari kemunafikan, sebagaimana sebaliknya prasangka yang baik merupakan cabang dari keimanan. Orang yang berakal akan berprasangka baik kepada saudaranya, dan tidak mau membuatnya sedih dan berduka. Sedangkan orang yang bodoh akan selalu berprasangka buruk kepada saudaranya dan tidak segan-segan berbuat jahat dan membuatnya menderita.”[9]

Nasihat Bagi Yang Suka Mencari Kesalahan Orang Lain

Cukuplah buat kita sebuah untaian perkataan seorang imam yaitu Imam Abu Hatim bin Hibban Al-Busthi berkata dalam sebuah kitabnya yang dikutip oleh Syekh Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad al-Badr dalam tulisannya sebagai berikut, ”Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih, dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya.”[10]
Semoga kita senantiasa dimudahkan oleh Allah dalam berakhlak karimah dan menjauhi sifat-sifat buruk dan sikap  yang merugikan diri kita sendiri. Amiin.
Catatan Kaki
[1] Lisan al-‘Arab, jilid 3 halaman 147
[2] Kamus al-Bishri, halaman 74
[3] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari hadis no. 6064 dan Muslim hadis no. 2563
[4] Rifqan Ahlu as-Sunnah bi Ahli as-Sunnah, halaman 10
[5] Aisar at-Tafaasir li Kalam al-‘Aliy al-Kabir, halaman 128
[6] Taisir al-Karim ar-Rahman fi tafsir al-Kalam al-Mannan, halaman 801
[7] Tafsiir al-Quran al-Karim: al-Hujurat ila al-Hadid, halaman 51
[8] Lubab at-Tafsir min Ibn Katsir, halaman 731
[9] Raudhah al-Uqala’, halaman 131
[10] Raudhah al-‘Uqala wa Nuzhah al-Fudhala’
Daftar Pustaka:
  • Al-Abbad, Abdulmuhsin bin Hamd. Rifqan Ahlu as-Sunnah bi Ahli as-Sunnah.
  • Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir. Aisar at-Tafaasir li Kalam al-‘Aliy al-Kabir. Maktabah al-Ulum wal al-Hikam: Madinah Munawwarrah. Jilid ke-5.
  • As-Sa’di. Taisir al-Karim ar-Rahman fi tafsir al-Kalam al-Mannan. Muassasah ar-Risalah.
  • Al-Busthim Muhammad bin Hibban. Raudhah al-‘Uqala wa Nuzhah al-Fudhala’. Dar al-Ilmiyyah: Beirut.
  • Dr. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh. Lubab at-Tafsir min Ibn Katsir. Muassasah Dar al-Hilal: Kairo. Pustaka Imam Syafi’i: Jakarta.
  • Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Tafsiir al-Quran al-Karim: al-Hujurat ila al-Hadid. Dar ats-Tsurayya li an-Nashr: Saudi Arabia. Cetakan ke-1.
Penulis: Afwan Awwab
Muraja’ah: Ust. Suhuf Subhan, M.Pd.I
Artikel Muslim.Or.Id

Nasehat buat Sahabat :


MOTTO
"Hidup tanpa tantangan tidak patut untuk dijalani, karena layang-layang terbang bukan mengikuti arus tapi justru menentangnya"
#salam PersahabatanRelated Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Read More..

Sebuah Kesia-Siaan

Posted by J Senin, 20 Januari 2014 0 komentar
Sebuah kelompok atau seseorang yang tersesat dalam ilmu dan amalnya akan ditandai dengan kesombongan akan keakuanya dan begitu mudahnya meremehkan yang lainya. Maunya menyalahkan, menfitnah dan menggunjing kelompok atau orang lain. Atau paling tidak akan menyimpan kebencian dan kegembiraan tersembunyi jika ada musibah menimpa orang atau kelompok lain. Tiada sapa, teguran beradap, prasangka baik dan upaya indah untuk menjadikan yang lainya baik.

[Perhatian]
Sebuah kelompok atau seseorang yang tersesat dalam ilmu dan amalnya akan ditandai dengan kesombongan akan keakuanya dan begitu mudahnya meremehkan yang lainya.

Sebaliknya, ahli ilmu dan amal baik yang sesungguhnya dan ahli istiqomah yang tulus akan semakin tawdhu' dan merendah kepada Allah dan kepada sesama manusia. Yang telah mempunyai ilmu dengan ketulusan akan selalu melihat orang lain yang terjerumus dengan mata kasih dan rindu untuk bisa menolongnya. Senantiasa memohon kepada Allah agar dirinya menjadi sebab baiknya orang lain,agar pintu hidayah segera dibukakan untuknya. Kepada orang berilmu yang lainya akan sangat menghargai dan mencintainya. Jika ada yang berhasil dari mereka akan berbangga dan bersyukur. Dan disaat melihat orang lain yang berilmu belum terlihat berhasil atau prestasinya dibawahnya dalam keberhasilan akan ia bantu dan perjuangkan agar bisa maksimal dalam keberhasilannya.

[Awas]
Alangkah mengerikanya jika gelar ustad, kiai, orang soleh, penghafal alqruan, ahli fiqih, ahli hadits dan lain sebagainya hanya kita peroleh di dunia sementara di akhirat kita didustakan dan di tolak gelar-gelar tersebut oleh Allah swt.

Atau kemudahan dalam berdakwah lalu kita senantiasa takut jika ini semua menjadi tidak bermanfat dan tidak di terima oleh Allah? Dan alangkah sia-sianya usaha kita jika buah ilmu kita tidak bisa kita petik diakhirat. Alangkah mengerikanya jika gelar ustad, kiai, orang soleh, penghafal alqruan, ahli fiqih, ahli hadits dan lain sebagainya hanya kita peroleh di dunia sementara di akhirat kita didustakan dan di tolak gelar-gelar tersebut oleh Allah swt. Pernahkah kita merenung, apakah ilmu dan amal yang diberikan oleh Allah kepada kita telah menjadikan kita semakin dekat dan takut kepada Allah atau justru kita bertambah kurang ajar dan jauh dari Allah? Pernahkah kita berfikir apakah amal dan ilmu kita telah menjadikan kita semakin mesra, indah dan saling mencintai kepada sesama? Adakah rasa kasih dan sayang terpancar dari ilmu kita disaat kita melihat saudara-saudara kita yang terjerumus dalam nistanya kemaksiatan? Atau justru amal dan ilmu tersebut telah menjadikan kita semakin sombong, memandang picik dan menghinakan mereka? Sudahkah kita insyaf untuk menjadi hamba yang beruntung yang senantiasa berfikir bagaimana amal dan ilmu kita bisa diterima oleh Allah? Atau justru gebyar keberhasilan ilmu dan amal kita hanya menjadikan kita orang yang selalu berfikir bagaimana berilmu dan beramal saja tanpa ada kerinduan kepada Allah? Dan pernahkah selama ini kita berfikir untuk merenungi ini semua?


Wallahu a'lam bishshowab.
#BUYA YAHYA

Nasehat buat Sahabat :



"Hidup tanpa tantangan tidak patut untuk dijalani, karena layang-layang terbang bukan mengikuti arus tapi justru menentangnya"
#salam PersahabatanRelated Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Read More..

Malu yang sesungguhnya.

Posted by J Jumat, 03 Januari 2014 0 komentar
Nabi Muhammad Salallahualiahi wassallam pernah bersabda : 
Malu tidak akan ada kecuali akan mendatangkan kebaikan (HR. Bukhari & muslim), dalam riwayat lain disebutkan. "rasa malu, itu semuanya adalah baik (HR. Muslim)
bahkan Rasulullah menyuruh kepada kita "malulah engkau kepada Allah dengan malu yang sesungguhnya" maka para sahabat menjawab, kami semua malu ya Rasulullah. Rasulullah menjawab : belum, bukan itu. akan tetapi malu itu adalah orang yang menjaga lidahnya, yang menjaga matanya, yang menjaga perutnya, yang menjaga kemaluannya.
Malu itu bukan gengsi, kalau gengsi itu adalah sombong. tapi malu itu adalah malu kalau kita melakukan kemaksiatan kepada Allah. malu kalau kita melanggar Allah. Malu kalau kita dilihat oleh Allah dalam keadaan bermaksiat kepada Allah.

Sahabat yang dirahmati Allah.
Mungkin kadang kita salah menempatkan rasa malu itu sendiri. kadang kita beranggapan bahwa malu itu adalah malu kalau mengenakan pakaian yang tidak bermerek, berkendaraan tempo dulu, malu kalau pakai hp jadul, malu kalau masih dianggap tidak trend dan bermode. Tapi pernahkah kita bertanya pada hati kecil kita, apakah ini rasa malu yang diajarkan oleh Rasulullah? 
Padahal rasa malu yang ini bukanlah rasa malu yang diinginkan oleh Rasulullah Salallahualaihi wassallam. akan tetapi rasa malu yang seperti itu adalah rasa sombong dan ketakaburan. kita selalu ingin dan harus dianggap berkelas, ingin tampil lebih dari orang lain dan ingin tampil beda. maka sesungguhnya ini adalah kesombongan.
Maka Rasulullah mengatakan kepada kita malulah engkau dengan malu yang sesungguhnya, maka sahabat menjawab : kami malu ya Rasulullah.
ternyata apa yang dipahami oleh para sahabat sama seperti yang selama ini kita pahami yaitu malu kalau makan sederhanya, pakaian sederhanya, mempunyai pekerjaan yang sederhana.
Rasulullah menjawab : bukan itu. tapi malu yang sesungguhnya adalah malu jika kau menjaga kepalamu dan apa yang dikandungnya, artinya menjaga matanya, telinganya, mulutnya, lidahnya dari yang diharamkan oleh Allah. Kemudian menjaga perutmu dan apa yang disekitarnya, yaitu kemaluannya. Maka malu yang diinginkan oleh Rasulullah bukanlah malu dipandang manusia tapi malu dipandang oleh Allah. Apakah yang kita lakukan saat ini Allah ridho atau tidak, apakah Allah cinta atau tidak. itulah malu yang sesungguhnya.  Maka marilah kita bertanya pada diri kita masing-masing, apakah malu kita sudah sesuai dengan yang dinginkan oleh Allah? Atau jangan-jangan malu kita adalah malu yang melahirkan kesombongan yang justru membawa kita pada kehinaan.
Oleh karena Itu maka marilah kita pupuk rasa malu kita kepada Allah.
hilangkan gengsi, hilangkan pamer, hilangkan hidup mewah. karena semua itu akan melahirkan kerakusan yang akan melahirkan kejahatan. oleh karena itu marilah sahabatku kita memulai hidup sederhana. karena dengan kesederhanaan kita akan mudah mensyukuri nikmat Allah subhanawata'ala.
sahabatku mencari pekerjaan itu yang penting halal, bukan yang penting besar gajinya.
mamakai baju itu yang penting menutup aurat, bukan yang penting glamor.
rumah itu yang penting bisa menjaga keluarga, bukan yang penting megah. ini adalah kunci keselamatan.
sebaliknya orang yang hanya mementingkan kemewahan cenderung memaksakan diri. meskipun pendapatannya terbatas. ia harus membeli baju yang mahal, rumah yang megah, dan kendaraan yang mewah. dan secara otomatis ia akan terjerumus untuk mengambil tindakan yang tidak diridhoi oleh Allah. itulah hilangnya rasa malu. sungguh malu adalah benteng keselamatan kita.
semoga diri kita dijaga oleh Allah agar mempunyai malu yang diinginkan oleh Allah subhanawata'ala.

Nasehat Untuk sahabat :


MOTTO
"Hidup tanpa tantangan tidak patut untuk dijalani, karena layang-layang terbang bukan mengikuti arus tapi justru menentangnya"
#salam PersahabatanRelated Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Read More..

Antara dakwah dan masa remaja

Posted by J Kamis, 02 Januari 2014 0 komentar
Dakwah merupakan perjuangan dalam menyampaikan ajaran Islam yang diajarkan oleh pembawa risalah yaitu Rasulullah salallahualaihi wassallam. Banyak diantara remaja yang selalu lalai akan dakwah yang telah menjadi amanah yang diemban diatas pundaknya. Kadang selalu lupa dengan apa yang seharusnya mereka lakukan untuk meningkatkan kualitas kesadaran akan dakwah ini. Tidak bisa dipungkiri, setuju atau tidak banyak dari remaja saat ini sudah mulai tersingkirkan dalam hal keislaman yang seharusnya menjadi pedang dan tameng mereka untuk menghadapi perubahan jaman. Remaja saat ini mulai disibukkan dengan hal-hal yang  tidak bermanfaat yang akhirnya mereka terseret pada dunia kenikmatan sesaat. Mereka disibukkan dengan pacaran, nongkrong dijalan, jalan-jalan, dan lain-lain yang membuat mereka lalai akan tugas mereka sebagai para pendakwah. 
saat ini nilai-nilai islam yang diajarkan kepada mereka lambat laun mengalami pergeseran atau distorsi yang cukup mengecewakan. Padahal ditangan mereka inilah perjuangan Islam yang selama ini diperjuangkan harus ditegakkan. Namun ini semua sudah menjadi hayalan masa lalu yang begitu indah. yang melahirkan penghianatan terhadap cita-cita para pendakwah terdahulu.
Kalau dikaji fenomena yang terjadi saat ini maka tidak mengherankan jika kita melihat banyak dari mereka yang pacaran dipojok-pojok sekolah, berduaan, pegangan tangan, bahkan ciuman yang sebenarnya didalam ajaran islam sangat dilarang. Fenomena ini dimata mereka menjadi hal yang biasa yang sudah menjadi tren masa kini. Namun mereka lupa bahwa itu semua yang menjadi faktor kemunduran islam saat ini.
Masa remaja merupakan puncak kenikmatan yang dianggap mereka harus dimanfaatkan dengan baik. sehingga tidak jarang pula yang memanfaatkannya dengan cara yang salah. Masa remaja menjadi kenikmatan tersendiri, sehingga mereka menghabiskan waktunya hanya untuk bersenang-senang. Tapi tidak bisa kita abaikan masih banyak diantara mereka yang juga peduli akan amanah dakwah yang ada digenggaman mereka. Mereka inilah para pendakwah yaitu orang-orang yang peduli akan agama yang dibawa oleh Rasulullah Salallahualaihi wassallam.
Masa remaja merupakan masa pencarian jati diri. Memang menjadi dilematis ketika dihadapkan pada persoalan dakwah yang menjadi tugas mereka. Tapi semua itu sudah menjadi pilihan . mau atau tidak mau, mereka harus memilih. Merelakan masa remaja untuk berdakwah atau untuk bersenang-senang dengan gemerlapnya dunia, itupun pilihan. Mau atau tidak, sudah menjadi keharusan universal bahwa hidup itu harus memilih. Maka seharusnya kita sebagai orang yang beragama untuk memilih jalan yang Lurus yaitu memilih sebagai pendakwah.

Nasehat untuk sahabat :



Baca juga :

Kenapa ‘Buta’ Pada Keistimewaan Orang Lain


Agar Hidup Bahagia

Pilihan Allah yang terbaik.




MOTTO
"Hidup tanpa tantangan tidak patut untuk dijalani, karena layang-layang terbang bukan mengikuti arus tapi justru menentangnya"
#salam PersahabatanRelated Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Read More..

Kenapa ‘Buta’ Pada Keistimewaan Orang Lain

Posted by J Rabu, 01 Januari 2014 0 komentar
Oleh: Ustadz Azmi Fajri Usman
Memandang sepele orang lain, bukanlah tanda kita lebih mulia dari orang itu. Merendahkan orang lain, justru menjadi cirri kekurangan dan kelemahan kita sendiri. Kelemahan itu terjadi karena kita tidak tahu menialai diri dan orang yang kita sepelekan. Sikap menyepelekan, ternyata bisa menjatuhkan dan mempermalukan kita, jika ternyata kondisi sebenarnya berbeda dengan penilaian kita.
Beberpa langkah berikut, akan membantu kita untuk lebih menghormati dan menilai orang lain dengan bijaksana.

1. Bukalah ‘Mata’ terhadap kelebihan orang lain
Diatas langit ada langit. Istilah itu barangkali sering kita dengar, untuk menggambarkan bahwa tidak ada makhluk yang mengerti semua hal dimuka bumi ini. Sudah semestinya banyak orang orang baik yang kita tidak tahu. Sepintar dan sehebat apapun seseorang , pasti ada yang lebih bagus dan lebih baik. Meski biasanya, orang yang benar-benar baik dan istimewa, justru tidak akan merasa lebih tinggi dan lebih baik dari orang lain. Karena semakin dalam ilmu seseorang, semakin banyak amalnya, ia makin merendah di hadapan orang lain. Sebaliknya, justru orang yang merasa lebih hebat dan lebih baik dari orang lain adalah orang yang minim kualitas dan kuantitas amalnya. Orang-orang yang memiliki amal-amal lebih baik, memang kerap tidak suka bila amalnya diketahui orang. Itulah yang menjadi karakter para salafushalih dahulu.

Jika kita jeli, betapa sering kita mengalami keterkejutan saat keliru menilai sesuatu yang ternyata berbeda 180 derajat dari yang kita duga sebelumya. Betapa sering kita melihat kebaikan yang dilakukan orang yang “biasa-biasa saja”, sebuah nilai yang tidak kita prediksi sebelumnya. Simaklah bagaimana terkejutnya seorang yang sombong dihadapan Salman Al Farisi ra. Ketika Salman Al FArisi menjadi gubernur Madain, ia pernah dianggap kuli panggul oleh seorang kaya dan terkemuka di kota itu. “ Mari bawakan barang ini,” kata orang itu, yang belum mengenal Salman.
Barang-barang itu diangkat salaman di atas bahunya. Setiap bertemu penduduk, mereka menawarkan diri untuk membawakan barang itu. Tetapi Salaman terus membawanya dan menolak orang-orang yang akan menggantikan, hingga ia sampai ke rumah si kaya. Setelah orang itu mengetahui bahwa yang disuruhnya adalah gubernur, ia sangat terkejut. Ia meminta maaf dan berkata, “Saya berjanji tidak akan menghina orang sesudah kejadian ini untuk selamanya.”
2. Rahasiakanlah amal, Agar kita mengerti orang yang Merahasiakan Amalnya
Ada dua hal penting yang minimal bisa kita peroleh dengan merahasiakan amal. Pertama, merahasiakan amal adalah cara yang bisa labih memberi ketenangan hati pelakunya. Berbeda dengan ketika suatu amal dilakukan di depan dan diketahui banyak orang. Al Harits Al Muhasibi mengatakan, “ Orang yang shadiq adalah yang tidak suka jika mereka mengetahui kebaikan amalnya dan dia tidak benci jika mereka mengetahui keburukan amalnya. Jika dia benci karena orang mengetahui keburukannya, berarti dia menghendaki kehormatan di mata mereka, dan ini bukan tanda shiddiqin.”
Kedua, dengan melakukan amal tersembunyi kita lebih bijak menilai orang lain. Kita akan mengerti, bahwa ada banyak amal orang lain yang sama sekali tidak kita ketahui, sebagaimana yang kita lakukan. Kita menyadari, bahwa ada banyak kemungkinan seseorang menyembunyikan amalnya, sebagaimana kita juga melakukannya. Kita tahu, tidak pada tempatnya menilai orang secara lahir. Seorang ahli hikmah mengatakan, “ Kebanggaan seorang mukmin hanya dengan Tuhan, kemuliaan seorang mukmin hanya dengan agamanya. Sedangkan orang munafik bangga dengan kebanggaan dari orang lain dan merasa mulia dengan harta kekayaannya.”

3. Pandanglah Diri kita Sebagai Orang Bodoh
Sikap seperti ini adalah kunci keberhasilan dan perubahan kearah lebih baik. Memandang diri sebagai orang bodoh, bukan menjadikan kita merasa tidak percaya diri, tapi harus lebih melecut diri untuk banyak belajar dari banyak keadaan. Kenyataan hidup mengajarkan kita, selalu ada orang lain yang lebih pintar dalam satu atau beberapa bidang tertentu. Maka, perlu sikap mengalah, tak henti belajar dan menyempurnakan diri.
Kita biasanya lebih sering berbicara tentang kekurangan orang lain dari pada kelebihan mereka. Kita memperhatikan kekurangan itu, lalu membicarakannya untuk lebih mengukuhkan kelebihan dan keutamaan kita dari orang lain. Padahal sikap seperti itulah yang menghalangi seseorang bisa berkembang dan tumbuh pada keadaan yang lebih baik. Cobalah bertanya, apakah kita sudah menjadi manusia yang benar-benar dikatakan baik menurut Allah? Jika mengetahui bahwa kita masih memiliki banyak kekurangan, sebaiknya kita tidak cenderung mudah menilai kelemahan dan kesalahan orang lain. Apalagi, sebenarnya, tidak ada waktu sama sekali untuk mencari-cari kesalahan orang lain, karena kita mesti banyak menilai kelemahan dan kesalahan diri sendiri.

Waktu kita harus lebih dikhususkan untuk mencari kesalahan dan kekurangan diri. Kita mesti jujur pada diri sendiri, karena setiap melontarkan penilaian buruk, lalu meremehkan dan mencaci orang lain, berarti memperlihatkan keadaan diri kita sebenarnya. Maka, perbaikilah diri dengan bercermin dari sikap orang lain. Yakinilah, semakin kita memperbaiki diri, maka Allah akan memberikan yang terbaik pula bagi kita.

Tumbuhkan rasa malu, karena ternyata banyak orang orang yang menyimpan kebaikan, apapun kebaikannya dan betapapun kondisi mereka. Tawadhu dan jangan sombong. Karena sebenarnya kerendahan hati justru mengungkapkan kekuatan. Hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati.
Simaklah apa yang dialami Al Muhallab bin Abi Shufrah, seorang komandan perang pada pemerintahan Al Hhijjaj. Suatu hari ia degan pakaian sutera berjalan kebeberapa sudut kota dengan angkuh. Secara kebetulan, ia berpaspasan dengan Mutharrif bin Abdullah, seorang ulama yang disegani. Mutharrif menegurnya, “ Hai hamba Allah, jalan yang seperti itu dimurkai Allah dan Rasul-Nya.” Al Muhallab terkejut dan mengatakan sinis, “ Apakah engkau belum kenal saya?” Mutharrif menjawab dengan tenang,” Saya sudah tahu tentang diri mu, engkau berasal dari sesuatu yang jijik dan akhirnya menjadi bangkai yang juga menjijikkan, dan engkau diantara dua keadaan itu selalu membawa kotoran.” Al Muhallab terkejut, lantas segera merubah cara jalannya.

4. Berlatihlah Menemukan Inspirasi Baru dari Sikap orang Lain
Ini bagian dari pembelajaran kita pada sikap orang lain. Kita selayaknya bisa mendapatkan inspirasi kebaikan dari sikap dan kondisi orang lain, bagaimanapun keadaan mereka. Seluruh peristiwa dalam hidup ini sebenarnya guru yang bisa mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang lebih baik. Mungkin saja jalan hidup yang kita lalui tidak sama dengan orang lain, tapi perilaku orang lain semestinya bisa melahirkan imbas semangat baru pada hidup kita.
Barang kali ini rahasianya bila Rasulullah saw membolehkan kita untuk memendam rasa iri terhadap dua perkara, sebagaimana hadits berikut,” Tidak boleh iri hari kecuali terhadap dua perkara. Yaitu terhadap seseorang yang dikarunikan oleh Allah harta kekayaan tapi dia memanfaatkannya untuk urusan kebenaran. Dan seseorang yang diberikan ilmu pengetahuan oleh Allah lalu memanfaatkan dan mengajarkannya pada orang lain.” (HR. Muslim)
Hadits ini mengisyaratkan secara tidak langsung bahwa kita mesti bisa memetik pelajaran dari sesuatu yang baik milik orang lain. Segala keadaan harus bisa menghasilkan sesuatu yang posotif bagi diri kita. Di sini kearifan dan kebijakan kita diuji. Apakah kita tetap bisa memelihara sikap positif dan melihat segala sesuatu dari kacamata positif, bahkan terhadap situasi yang buruk sekalipun. Apakah kita lebih suka mencari solusi daripada frustasi, lebih suka memuji daripada mengecam dan lain sebagainya.
5. Dekatlah kepada Allah, Agar Bisa Menangkap Hikmah
Kedekatan kepada Allah, akan banyak mempengaruhi kita dalam menilai sesuatu. Orang yang dekat dengan Allah akan lebih menggunakan kaca mata hikmah, ketimbang kaca mata tuduhan, terhadap berbagai peristiwa yang ia lihat dan alami. Ia akan lebih kokoh dan tidak tergoda dengan fenomena lahir, pujian, pamgkat, kedudukan dan semua label kehormatandari manusia. Ia juga akan terhindar dari penialaian keliru terhadap orang lain, merasa lebih baik dari orang lain, dan lebih memperhatikan kekurangan diri daripada melihat kekurangan orang lain.
Bercerminlah pada pribadi sahabat RAsulullah, Abdullah bin Mas’ud ra. Ia seseorang yang lemah fisiknya. Tidak berharta dan bukan keturunan bangsawan. Pekerjaannya tidak lebih dari seorang penggembala kambing. Tapi ia telah mengubah semua kondisi itu menjadi ke agungan dan kemuliaan. Ia sahabat Rasulullah yang paling mengerti tentang Alquran dan pernah diminta oleh rasulullah untuk membacakan beberapa ayat dalam surat An Nisa, hingga kedua mata baginda Rasul berlinang.
Ia juga dipuji para sahabat. Umar ra mengatakan, “ Abdullah bin Mas’ud adalah orang yang sangat memahami.” Pemahaman dan penguasaannya terhadap Alquran pula yang menjadikan pribadinya tidak cenderung membanggakan diri. Ia tetap mengatakan, “Jika aku mengetahui seseorang yang lebih mengetahui daripadaku tentang kitab Allah, aku pasti mendatanginya.”

Banyak pelajaran yang besar yang kita petik dari Abdullah bin Mas’ud. Pertama, kondisi lahir ternyata sama sekali tidak mencerminkan kualitas dan keistimewaan seseorang. Kedua, Abdullah bin Mas’ud tetap jernih dalam memandang kelebihan dan keistimewaan orang lain. Tentu saja, sikap itu juga pengaruh interaksinya dengan Al-Quran, hingga dia tetap bisa menangkap hikmah dari manapun datingnya.

Sebagaimana juga kisah Umar bin Abdul Aziz, yang kedatangan tamu pada suatu malam. Seperti biasa sesudah isya, Umar menulis apa yang diperlukannya, sedang tamunya berada dekat dengannya, dan melihat lampu yang sudah berkedip-kedip hamper mati. Tamu itu berkata, “Ya Amirul Mukminin, saya akan bangun memperbaiki lampu.” Namun Umar menjawab, “ Tidak manusiawi bila seseorang menggunakan tenaga tamunya.”
Berkata lagi tamunya itu,”Apakah saya bangunkan pelayan?” jawab Umar, “Tidak, sebab ia baru tidur.” Lalu Umar sendiri mengisi gas lampunya. Tamu itu bertanya, “Ya Amirul Mukminin, engkau sendiri yang membetulkan?” Jawab Umar,” Ketika saya menjadi khalifah saya tetap Umar dan tetap menjadi Umar.”

Umar adalah pribadi yang malam-malamnya kerap diisi amal pendekatan diri kepada Allah. Itulah yang menyebabkannya tidak mudah terbuai kedudukan, pujian dan penghormatan orang. Ia tetap sebagai Umar yang mampu menilai diri dan orang lain secara arif. Itulah yang bisa kita simpulkan dari dua kalimat perkataan Umar, “Tidak manusiawi seseorang menggunakan tenaga tamunya,” dan “saya tetap Umar dan tetap menjadi Umar.”

Nasehat Untuk sahabat :



MOTTO
"Hidup tanpa tantangan tidak patut untuk dijalani, karena layang-layang terbang bukan mengikuti arus tapi justru menentangnya"
#salam PersahabatanRelated Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Read More..

LIKE FANPAGE INDAHNYA PERSAHABATAN

KELUARGA HIMPUNAN

KELUARGA HIMPUNAN

Total Pengunjung