Kenapa ‘Buta’ Pada Keistimewaan Orang Lain
Rabu, 01 Januari 2014
0
komentar
Oleh: Ustadz Azmi Fajri Usman
Memandang sepele orang lain, bukanlah tanda kita lebih mulia dari orang itu. Merendahkan orang lain, justru menjadi cirri kekurangan dan kelemahan kita sendiri. Kelemahan itu terjadi karena kita tidak tahu menialai diri dan orang yang kita sepelekan. Sikap menyepelekan, ternyata bisa menjatuhkan dan mempermalukan kita, jika ternyata kondisi sebenarnya berbeda dengan penilaian kita.
Beberpa langkah berikut, akan membantu kita untuk lebih menghormati dan menilai orang lain dengan bijaksana.
1. Bukalah ‘Mata’ terhadap kelebihan orang lain
Diatas langit ada langit. Istilah itu barangkali sering kita dengar, untuk menggambarkan bahwa tidak ada makhluk yang mengerti semua hal dimuka bumi ini. Sudah semestinya banyak orang orang baik yang kita tidak tahu. Sepintar dan sehebat apapun seseorang , pasti ada yang lebih bagus dan lebih baik. Meski biasanya, orang yang benar-benar baik dan istimewa, justru tidak akan merasa lebih tinggi dan lebih baik dari orang lain. Karena semakin dalam ilmu seseorang, semakin banyak amalnya, ia makin merendah di hadapan orang lain. Sebaliknya, justru orang yang merasa lebih hebat dan lebih baik dari orang lain adalah orang yang minim kualitas dan kuantitas amalnya. Orang-orang yang memiliki amal-amal lebih baik, memang kerap tidak suka bila amalnya diketahui orang. Itulah yang menjadi karakter para salafushalih dahulu.
Jika kita jeli, betapa sering kita mengalami keterkejutan saat keliru menilai sesuatu yang ternyata berbeda 180 derajat dari yang kita duga sebelumya. Betapa sering kita melihat kebaikan yang dilakukan orang yang “biasa-biasa saja”, sebuah nilai yang tidak kita prediksi sebelumnya. Simaklah bagaimana terkejutnya seorang yang sombong dihadapan Salman Al Farisi ra. Ketika Salman Al FArisi menjadi gubernur Madain, ia pernah dianggap kuli panggul oleh seorang kaya dan terkemuka di kota itu. “ Mari bawakan barang ini,” kata orang itu, yang belum mengenal Salman.
Barang-barang itu diangkat salaman di atas bahunya. Setiap bertemu penduduk, mereka menawarkan diri untuk membawakan barang itu. Tetapi Salaman terus membawanya dan menolak orang-orang yang akan menggantikan, hingga ia sampai ke rumah si kaya. Setelah orang itu mengetahui bahwa yang disuruhnya adalah gubernur, ia sangat terkejut. Ia meminta maaf dan berkata, “Saya berjanji tidak akan menghina orang sesudah kejadian ini untuk selamanya.”
2. Rahasiakanlah amal, Agar kita mengerti orang yang Merahasiakan Amalnya
Ada dua hal penting yang minimal bisa kita peroleh dengan merahasiakan amal. Pertama, merahasiakan amal adalah cara yang bisa labih memberi ketenangan hati pelakunya. Berbeda dengan ketika suatu amal dilakukan di depan dan diketahui banyak orang. Al Harits Al Muhasibi mengatakan, “ Orang yang shadiq adalah yang tidak suka jika mereka mengetahui kebaikan amalnya dan dia tidak benci jika mereka mengetahui keburukan amalnya. Jika dia benci karena orang mengetahui keburukannya, berarti dia menghendaki kehormatan di mata mereka, dan ini bukan tanda shiddiqin.”
Kedua, dengan melakukan amal tersembunyi kita lebih bijak menilai orang lain. Kita akan mengerti, bahwa ada banyak amal orang lain yang sama sekali tidak kita ketahui, sebagaimana yang kita lakukan. Kita menyadari, bahwa ada banyak kemungkinan seseorang menyembunyikan amalnya, sebagaimana kita juga melakukannya. Kita tahu, tidak pada tempatnya menilai orang secara lahir. Seorang ahli hikmah mengatakan, “ Kebanggaan seorang mukmin hanya dengan Tuhan, kemuliaan seorang mukmin hanya dengan agamanya. Sedangkan orang munafik bangga dengan kebanggaan dari orang lain dan merasa mulia dengan harta kekayaannya.”
3. Pandanglah Diri kita Sebagai Orang Bodoh
Sikap seperti ini adalah kunci keberhasilan dan perubahan kearah lebih baik. Memandang diri sebagai orang bodoh, bukan menjadikan kita merasa tidak percaya diri, tapi harus lebih melecut diri untuk banyak belajar dari banyak keadaan. Kenyataan hidup mengajarkan kita, selalu ada orang lain yang lebih pintar dalam satu atau beberapa bidang tertentu. Maka, perlu sikap mengalah, tak henti belajar dan menyempurnakan diri.
Kita biasanya lebih sering berbicara tentang kekurangan orang lain dari pada kelebihan mereka. Kita memperhatikan kekurangan itu, lalu membicarakannya untuk lebih mengukuhkan kelebihan dan keutamaan kita dari orang lain. Padahal sikap seperti itulah yang menghalangi seseorang bisa berkembang dan tumbuh pada keadaan yang lebih baik. Cobalah bertanya, apakah kita sudah menjadi manusia yang benar-benar dikatakan baik menurut Allah? Jika mengetahui bahwa kita masih memiliki banyak kekurangan, sebaiknya kita tidak cenderung mudah menilai kelemahan dan kesalahan orang lain. Apalagi, sebenarnya, tidak ada waktu sama sekali untuk mencari-cari kesalahan orang lain, karena kita mesti banyak menilai kelemahan dan kesalahan diri sendiri.
Waktu kita harus lebih dikhususkan untuk mencari kesalahan dan kekurangan diri. Kita mesti jujur pada diri sendiri, karena setiap melontarkan penilaian buruk, lalu meremehkan dan mencaci orang lain, berarti memperlihatkan keadaan diri kita sebenarnya. Maka, perbaikilah diri dengan bercermin dari sikap orang lain. Yakinilah, semakin kita memperbaiki diri, maka Allah akan memberikan yang terbaik pula bagi kita.
Tumbuhkan rasa malu, karena ternyata banyak orang orang yang menyimpan kebaikan, apapun kebaikannya dan betapapun kondisi mereka. Tawadhu dan jangan sombong. Karena sebenarnya kerendahan hati justru mengungkapkan kekuatan. Hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati.
Simaklah apa yang dialami Al Muhallab bin Abi Shufrah, seorang komandan perang pada pemerintahan Al Hhijjaj. Suatu hari ia degan pakaian sutera berjalan kebeberapa sudut kota dengan angkuh. Secara kebetulan, ia berpaspasan dengan Mutharrif bin Abdullah, seorang ulama yang disegani. Mutharrif menegurnya, “ Hai hamba Allah, jalan yang seperti itu dimurkai Allah dan Rasul-Nya.” Al Muhallab terkejut dan mengatakan sinis, “ Apakah engkau belum kenal saya?” Mutharrif menjawab dengan tenang,” Saya sudah tahu tentang diri mu, engkau berasal dari sesuatu yang jijik dan akhirnya menjadi bangkai yang juga menjijikkan, dan engkau diantara dua keadaan itu selalu membawa kotoran.” Al Muhallab terkejut, lantas segera merubah cara jalannya.
4. Berlatihlah Menemukan Inspirasi Baru dari Sikap orang Lain
Ini bagian dari pembelajaran kita pada sikap orang lain. Kita selayaknya bisa mendapatkan inspirasi kebaikan dari sikap dan kondisi orang lain, bagaimanapun keadaan mereka. Seluruh peristiwa dalam hidup ini sebenarnya guru yang bisa mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang lebih baik. Mungkin saja jalan hidup yang kita lalui tidak sama dengan orang lain, tapi perilaku orang lain semestinya bisa melahirkan imbas semangat baru pada hidup kita.
Barang kali ini rahasianya bila Rasulullah saw membolehkan kita untuk memendam rasa iri terhadap dua perkara, sebagaimana hadits berikut,” Tidak boleh iri hari kecuali terhadap dua perkara. Yaitu terhadap seseorang yang dikarunikan oleh Allah harta kekayaan tapi dia memanfaatkannya untuk urusan kebenaran. Dan seseorang yang diberikan ilmu pengetahuan oleh Allah lalu memanfaatkan dan mengajarkannya pada orang lain.” (HR. Muslim)
Hadits ini mengisyaratkan secara tidak langsung bahwa kita mesti bisa memetik pelajaran dari sesuatu yang baik milik orang lain. Segala keadaan harus bisa menghasilkan sesuatu yang posotif bagi diri kita. Di sini kearifan dan kebijakan kita diuji. Apakah kita tetap bisa memelihara sikap positif dan melihat segala sesuatu dari kacamata positif, bahkan terhadap situasi yang buruk sekalipun. Apakah kita lebih suka mencari solusi daripada frustasi, lebih suka memuji daripada mengecam dan lain sebagainya.
5. Dekatlah kepada Allah, Agar Bisa Menangkap Hikmah
Kedekatan kepada Allah, akan banyak mempengaruhi kita dalam menilai sesuatu. Orang yang dekat dengan Allah akan lebih menggunakan kaca mata hikmah, ketimbang kaca mata tuduhan, terhadap berbagai peristiwa yang ia lihat dan alami. Ia akan lebih kokoh dan tidak tergoda dengan fenomena lahir, pujian, pamgkat, kedudukan dan semua label kehormatandari manusia. Ia juga akan terhindar dari penialaian keliru terhadap orang lain, merasa lebih baik dari orang lain, dan lebih memperhatikan kekurangan diri daripada melihat kekurangan orang lain.
Bercerminlah pada pribadi sahabat RAsulullah, Abdullah bin Mas’ud ra. Ia seseorang yang lemah fisiknya. Tidak berharta dan bukan keturunan bangsawan. Pekerjaannya tidak lebih dari seorang penggembala kambing. Tapi ia telah mengubah semua kondisi itu menjadi ke agungan dan kemuliaan. Ia sahabat Rasulullah yang paling mengerti tentang Alquran dan pernah diminta oleh rasulullah untuk membacakan beberapa ayat dalam surat An Nisa, hingga kedua mata baginda Rasul berlinang.
Ia juga dipuji para sahabat. Umar ra mengatakan, “ Abdullah bin Mas’ud adalah orang yang sangat memahami.” Pemahaman dan penguasaannya terhadap Alquran pula yang menjadikan pribadinya tidak cenderung membanggakan diri. Ia tetap mengatakan, “Jika aku mengetahui seseorang yang lebih mengetahui daripadaku tentang kitab Allah, aku pasti mendatanginya.”
Banyak pelajaran yang besar yang kita petik dari Abdullah bin Mas’ud. Pertama, kondisi lahir ternyata sama sekali tidak mencerminkan kualitas dan keistimewaan seseorang. Kedua, Abdullah bin Mas’ud tetap jernih dalam memandang kelebihan dan keistimewaan orang lain. Tentu saja, sikap itu juga pengaruh interaksinya dengan Al-Quran, hingga dia tetap bisa menangkap hikmah dari manapun datingnya.
Sebagaimana juga kisah Umar bin Abdul Aziz, yang kedatangan tamu pada suatu malam. Seperti biasa sesudah isya, Umar menulis apa yang diperlukannya, sedang tamunya berada dekat dengannya, dan melihat lampu yang sudah berkedip-kedip hamper mati. Tamu itu berkata, “Ya Amirul Mukminin, saya akan bangun memperbaiki lampu.” Namun Umar menjawab, “ Tidak manusiawi bila seseorang menggunakan tenaga tamunya.”
Berkata lagi tamunya itu,”Apakah saya bangunkan pelayan?” jawab Umar, “Tidak, sebab ia baru tidur.” Lalu Umar sendiri mengisi gas lampunya. Tamu itu bertanya, “Ya Amirul Mukminin, engkau sendiri yang membetulkan?” Jawab Umar,” Ketika saya menjadi khalifah saya tetap Umar dan tetap menjadi Umar.”
Umar adalah pribadi yang malam-malamnya kerap diisi amal pendekatan diri kepada Allah. Itulah yang menyebabkannya tidak mudah terbuai kedudukan, pujian dan penghormatan orang. Ia tetap sebagai Umar yang mampu menilai diri dan orang lain secara arif. Itulah yang bisa kita simpulkan dari dua kalimat perkataan Umar, “Tidak manusiawi seseorang menggunakan tenaga tamunya,” dan “saya tetap Umar dan tetap menjadi Umar.”
Nasehat Untuk sahabat :
MOTTO "Hidup tanpa tantangan tidak patut untuk dijalani, karena layang-layang terbang bukan mengikuti arus tapi justru menentangnya" #salam Persahabatan |
0 komentar:
Posting Komentar