HMI MEDIS UMM

Lelaki Dua Surga

Posted by J Rabu, 12 Maret 2014 0 komentar
Lelaki Dua Surga
dakwatuna.com – “Sesungguhnya putriku ini adalah amanah di pundakku dan aku berusaha mencari untuk kebaikan urusannya pada apa yang telah aku perbuat.” Atas alasan itulah Said Bin Musayyib menolak pinangan Amirul Mukminin dan menikahkan putrinya dengan orang kalangan biasa dari kaum muslimin.
Mendung duka belum tersaput dari wajah lelaki yang baru kehilangan orang yang paling dikasihi. Dia tidak tahu bahwa ternyata malam itu adalah malam terakhir dirinya menjumpai istri di rumahnya yang sederhana.. Terbayang kembali wajah istrinya, yang demikian baik kepadanya. Dialah yang senantiasa menghibur kesedihannya. Ikut memahami dan merasakan kegalauannya. Istri yang selalu mendoakannya agar dirinya mendapatkan hidayah Allah. Istri yang senantiasa mengalirkan air mata pada tiap-tiap pertengahan malam, yang selalu menyemangati untuk selalu mencari ridha Allah.
Namun kegembiraan tidaklah boleh berlebihan, duka pun tak boleh berkelanjutan. Pria shaleh yang mendalam ilmunya ini menyadari bahwa duka kematian istrinya tidak boleh berlarut-larut. Kecintaannya akan majelis ilmu yang dipimpin gurunya Said Bin Musayyib harus segera dihadiri lagi.
“Allahu akbar, Allahu akbar,” Adzan subuh pun berkumandang. Gemanya menggetarkan jiwa. Menerobos bilik-bilik rumahnya yang sederhana. Suara yang selalu dinanti. Suara yang selalu bisa membawanya terbang tinggi, menikmati empuknya awan, terbang jauh, diayun gelombang sahara yang menenangkan. Lengkingan suara yang menghapus kedukaan, membawanya pada kegembiraan dan melupakan sejenak segala sesak yang menghimpit tenggorokan.
Aduhai, alangkah merdunya suara panggilan itu kali ini. Abu Wada’ah merasakan kedamaian dan ketentraman yang mendalam. Dia menjawab suara muadzin itu, tak terasa langkahnya telah membawanya ke masjid Nabawi. Masjid tempat dia selama ini menuntut ilmu. Abu Wada’ah kembali datang ke majelis sebagaimana biasa.
Abdullah bin Abu Wada’ah dalam beberapa riwayat sering disebut Abu Wada’ah, dia berguru kepada Said Bin Musayyib, seorang tokoh ulama dari generasi tabi’in bernasab langsung ke Bani Mahzhum. Seorang ulama yang selalu berpuasa di siang hari, bangun di tengah malam. Menunaikan haji sekitar empat puluh kali. Sejak empat puluh tahun tidak pernah terlambat dari takbir pertama di masjid Nabawi dan ia selalu menjaga untuk berada di shaf pertama. Allah menganugerahkan kelapangan rezeki, dia bisa menikah dengan siapa saja yang ia kehendaki dari wanita bangsawan Quraisy, namun ia lebih memilih putri Abu Hurairah ra dari seluruh para wanita. Yang demikian itu karena kedudukannya dari Rasulullah saw. dan keluasan riwayatnya terhadap hadits serta raghbah-nya (keinginannya) yang begitu besar dalam mengambil hadits darinya. Ia telah mendedikasikan dirinya untuk ilmu semenjak kecil.
Ia belajar dengan istri-istri Nabi saw. dan mengambil manfaat dari mereka. Berguru kepada Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Abbas dan Abdullah ibn Umar. Dan juga mendengar dari Utsman, Ali dan Shuhaib serta sahabat Nabi mulia saw yang lainnya. Said Bin Musayyib adalah seorang guru yang memiliki keteladanan yang tinggi. Beliau memiliki dan memimpin sebuah majelis ilmu (halaqah) yang cukup besar di Masjid Nabawi Madinah, di samping halaqah-halaqah yang lain yang ada di masjid itu, seperti halaqahnya ‘Urwah bin Zubair, dan Abdullah bin ‘Utbah.
Abu Wada’ah termasuk seorang murid yang setia, dia tidak pernah absen setiap kali sang guru mengajar. Makanya sewaktu Abu Wada‘ah tidak datang ke majelis halaqahnya beberapa kali, tentu saja Said Bin Musayyib merasa kehilangan murid setianya ini. Beliau merasa khawatir kalau-kalau ketidakhadirannya disebabkan karena sakit atau karena ada masalah yang menimpanya. Lalu beliau menanyakannya kepada murid-murid yang lainnya tentang keadaan Abu Wada’ah, tetapi mereka semua mengatakan tidak tahu.
Subuh itulah untuk pertama kalinya Abu Wada’ah menampakkan diri kembali di majelis sebagaimana biasa.  Maka sang guru Said Bin Musayyib segera menyambut kedatangannya dengan sapaan yang penuh perhatian.
“Ke mana saja engkau ya Aba Wada’ah?” Sapa Sang Guru penuh perhatian
“Istriku meninggal dunia, sehingga aku sibuk mengurusinya,” Jawabnya.
“Mengapa  tidak memberitahu kami sehingga kami bisa menemanimu dan mengantarkan jenazah istrimu serta membantu segala keperluanmu,” Sang guru menunjukkan perhatiannya
“Terima kasih, jazaakallahu khairan,” Jawab sang murid sambil menyembunyikan perasaannya yang terkesan memang sengaja tidak memberi tahu karena khawatir merepotkan gurunya. Dan ketika hendak beranjak pergi, sang guru menahannya. Sampai ketika semua murid yang lainnya telah pulang. Tidak berapa lama kemudian Said Bin Musayyib menghampiri Abu Wada’ah dan membisikan sesuatu kepadanya.
“Apakah engkau belum terpikir untuk mencari istri yang baru ya Aba Wada’ah.” Bisik sang Guru dengan penuh kehati-hatian untuk menjaga perasaan muridnya.
“Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu, siapa orangnya yang mau mengawinkan anak perempuannya dengan pemuda sepertiku yang sejak kecil yatim, fakir dan hingga sekarang ini aku hanya memiliki dua sampai tiga dirham,” Tandas Abu Wada’ah yang tampaknya ingin bersikap realistis terhadap keadaan dirinya.
“Aku yang akan mengawinkanmu dengan anak perempuanku,” Sang Guru menegaskan ucapannya. Abu Wada’ah terkejut dan dengan terbata-bata menanggapi tawaran gurunya.
“Eng,…engkau akan mengawinkanku dengan anak perempuanmu, padahal engkau tahu sendiri bagaimana keadaanku,” Abu Wada’ah menanggapi setengah tidak percaya.
Beberapa saat kemudian keduanya terdiam, Sang Guru sendiri tampak arif dan demikian memahami perasaan muridnya. Tak lama kemudian, Syaikh mengucapkan sebuah perkataan yang sama sekali tak diduga oleh Abu Wada’ah.
“Ya,…kenapa tidak, karena ketika telah datang seseorang yang aku ridha terhadap agamanya dan akhlaknya maka aku akan kawinkan anak perempuanku dengan orang itu, dan engkau termasuk orang yang aku ridha”. Tegas sang guru.
Padahal sebelum ini putri beliau pernah dilamar oleh Al-Walid bin Hisyam bin Abdul Malik, putra mahkota Dinasti Umayyah, pada saat ayahnya Amirul Mu’minin Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan menjadi khalifah. Said Bin Musayyib menolak lamaran khalifah yang ingin menjodohkan putrinya dengan putera mahkotanya.
Putri Syaikh Said sendiri adalah salah seorang perempuan tercantik dan sempurna, seorang puteri yang paling mendalam ilmunya tentang Al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi meskipun yang melamar anaknya adalah putra mahkota, Said Bin Musayyib tidak canggung menyampaikan permintaan maafnya karena menolak lamarannya. Keluarga istana Dinasti Umayyah tetap berusaha keras untuk dapat mempersunting putrinya itu, namun Said Bin Musayyib tetap tak bergeming, karena ia mengetahui bahwa Al-Walid adalah pemuda yang banyak melakukan dosa dan lemah agamanya. Dalam pandangan ahlud-dunia sikap Said Bin Musayyib mungkin dinilai aneh karena menyia-nyiakan kesempatan untuk menaikkan taraf hidup.
Sementara bagaimana dengan kita sekarang ini? Atas pertimbangan apa kita menerima dan menolak seseorang? Adalah Erich Fromm, dalam bukunya berjudul The Art of Loving, mengungkapkan dengan gamblang bahwa hubungan pria dan wanita pada jaman modern, pada akhirnya tak lebih dari sebuah proses tukar menukar seperti layaknya transaksi jual beli di era pasar bebas seperti saat ini. Sang pria menjual image-nya sebagai sosok yang tampan, dengan tubuh berotot, six packs, punya segala macam fasilitas mulai dari kendaraan keluaran terbaru, gagdet keluaran terbaru, dan style berpakaian yang tidak boleh ketinggalah jaman. Tak lupa, sang wanita pun menjual aset berharga berupa keindahan tubuhnya, kecantikan, tutur kata yang lemah lembut (meskipun aslinya kadang-kadang wataknya tidak lemah lembut sama sekali) hingga kecerdasan otaknya.– Astaghfirullah!
Namun Sa’id Bin Musayyib jauh dari sifat mengeksploitasi anaknya demi mengejar keuntungan dunia. Sebagai orang tua sekaligus seorang ‘alim, beliau hanya mendambakan putrinya mendapatkan jodoh dari orang yang bertaqwa dengan sesungguhnya. Dan pilihannya jatuh pada salah seorang murid majelis halaqahnya. Ia bukanlah seorang kaya, apalagi keturunan bangsawan, bahkan hanya seorang pemuda yatim yang berstatus duda dari wilayah Hayna.
Pada keduanya telah terjalin tafahum (saling memahami) tingkat tinggi. Bukan sekedar hubungan murid dengan guru semata akan tetapi lebih jauh dari itu adalah ta’akhi (persaudaraan) yang kental dan mendalam. Hubungan yang dirajut karena kecintaan kepada Allah semata dan jauh dari baju kepura-puraan, pura-pura shaleh, pura-pura ‘alim dan taqwa. Jadi Said Bin Musayyib meluluskan putrinya menikah dengan tak ada penilaian yang bersifat materi keduniaan dalam jiwa dan benaknya.
Tak berapa lama kemudian, Said Bin Musayyib memanggil beberapa orang muridnya yang kebetulan masih berada di dalam masjid. Ketika mereka ada di dekatnya, saat itu juga Said Bin Musayyib mengucapkan lafadz hamdalah dan shalawat atas Rasulullah saw… lalu disebutlah lafadz akad nikah antara putrinya dan Abu Wada’ah. Maharnya adalah uang senilai dua dirham.
Berbagai perasaan gembira, haru, bingung bercampur dalam hati Abu Wada’ah. Setelah selesai acara ‘aqad nikah yang sangat sederhana itu, ia segera pamit pulang ke rumahnya.
“Siang itu sebenarnya aku tengah puasa, tapi peristiwa itu menjadikan aku hampir lupa dengan puasaku…” Ungkap Abu Wada’ah dalam hati.
Sungguh bahagia Abu Wada’ah, saat segala takdir harus diterima dengan pasrah, saat Allah memberi kecukupan dengan karunia yang mungkin ‘terlihat’ apa adanya, saat rezeki yang bersahaja harus dipandang sebagai anugrah tak terkira, saat orang percaya atau tidak percaya, bahwa sesungguhnya engkau telah mendapat anugrah terindah…
Kilatan cahaya pikiran itu terus menerus menerangi sehingga membuka kesadaran yang hakiki. Hingga tiba adzan maghrib dan dia harus membatalkan puasanya. Selesai melakukan shalat maghrib, ia bersiap untuk ifthar dengan sepotong roti dan minyak.
Sementara di tempat lain Said Bin Musayyib setelah menyelesaikan prosesi akad nikah di Masjid Nabawi tadi, beliau kemudian pulang ke rumahnya dan mendapati putrinya tengah membaca Al-Qur’an.
“Apa yang sedang engkau lakukan wahai putriku?”
“Aku sedang membaca kitabullah wahai ayah…..”
“Apakah engkau memahaminya?”
“Ya, duhai ayahku. Tetapi, ada satu ayat yang aku belum bisa memahaminya sama sekali.”
“Ayat apakah itu wahai putriku?” tanya sang ayah dengan penuh keheranan.
“Yaitu firman Allah:
‘Dan di antara mereka ada orang yang berdoa, ‘Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan juga di akhirat, serta peliharalah kami dari siksa neraka’.’ (Al-Baqarah : 201)
”Duhai ayahku, aku telah mengetahui bahwa kebaikan akhirat adalah jannah, lalu apakah yang dimaksud dengan kebaikan dunia?”
Sang ayah kemudian menjelaskan dengan penuh hangat, “Duhai putriku, kebaikan dunia adalah ketika seorang istri yang shalihah mendapatkan suami yang shalih. Hari ini Allah telah memberikan nikmat kepadamu dengan seorang suami yang shalih, maka bersiaplah untuk memasuki malam pertama bersamanya….”
Di rumahnya Abu Wada’ah belum tuntas menikmati sajian iftharnya berupa satu atau dua potong roti, tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintu rumahnya. Kemudian dia berdiri untuk membuka pintu.
“Siapa di luar…?” tanya Abu Wada’ah.
“Saya Said,“ Jawab suara dari luar
Suara itu segera dikenalnya, yang tidak lain adalah Said Bin Musayyib. Ada apa gerangan? Karena saat itu sebenarnya Abu Wada’ah masih diliputi perasaan grogi dan cemas. Dalam benaknya, mungkin saja kedatangan syaikh Said hendak membatalkan urusan pernikahan ini, atau mungkin saja mempelai putri menolak menjadi istrinya. Tetapi, ketika dibuka pintu rumahnya, ternyata imam Said datang bersama putrinya yang telah memakai gaun pengantin
“Apa yang membuat Anda tergesa-gesa datang kemari wahai Syaikh?” Abu Wada’ah pun bertanya kepada sang imam.
“Sesungguhnya Allah membenci jika salah seorang di antara kita bermalam tanpa memiliki istri. Sehingga, setan tidak mengganggunya wahai Abu Wada‘ah. Inilah aku bawakan istrimu, semoga engkau diberkahi dengannya, dan semoga ia juga mendapatkan barakah denganmu, serta mengumpulkan kalian berdua dalam naungan kebaikan.”
Kemudian Said Bin Musayyib meninggalkan putrinya di rumah Abu Wada’ah. Saat itu juga Abu Wada’ah berlari dan naik ke atap rumahnya dan memanggil seluruh tetangganya. Seketika itu pula, para tetangganya berhamburan mendatanginya dan bertanya,
“Ada apakah gerangan wahai Abu Wada‘ah sehingga engkau memanggil kami?” Tanya para tetangganya.
“Said Bin Musayyib telah menikahkanku dengan putrinya. Beliau telah datang kepadaku malam ini untuk menyerahkan putrinya kepadaku. Dan sekarang, putrinya telah bersamaku.”  Abu Wada’ah mengumumkan perihal keadaannya kepada mereka.
Para tetangga kemudian mendatanginya dan membantu hajat Abu Wada’ah. Kaum wanita mempersiapkan pengantin putri dan kaum lelaki mempersiapkan Abu Wada’ah agar bertemu dengan istrinya dalam keadaan terbaik. Dalam walimah sederhana itu tidak ada permainan dan perbuatan yang sia-sia.
Kemudian para undangan pulang ke rumahnya masing-masing dengan mendapatkan balasan dari Allah dan juga rasa terima kasih dari Abu Wada’ah. Mempelai laki-lakipun kemudian masuk ke rumah menemui istri barunya. Ternyata, ia adalah wanita yang sangat cantik, paling hafal dengan kitabullah, paling tahu dengan sunnah Rasulullah dan paling paham akan hak-hak suami.
Setelah berlalu masa sepekan dari pernikahannya, diapun kemudian meminta ijin kepada istrinya untuk keluar.
“Hendak ke mana duhai suamiku?”
“Hendak menghadiri majelis ilmu Said Bin Musayyib….”
“Duduklah di sini saja duhai suamiku. Akan aku ajarkan kepadamu ilmu Said Bin Musayyib….” Istrinya berkata dengan penuh hangat,
Lantas, Abu Wada’ah pun duduk bersamanya mengkaji ilmu agama. Suatu waktu, Said Bin Musayyib menengok keadaan Abu Wada’ah dan istrinya.
“Mengapa sekarang engkau tak lagi menghadiri halaqah wahai Abdullah?”
“Karena aku telah mendapati pada putri Said ilmunya Said,” Jawab Abdullah.
Kebahagiaan tetaplah rahasia Ilahi, meskipun sejuta manusia menggapai langit dan menggali bumi. Kebahagiaan sejati hanya dilandasi keyakinan akan takdir sehingga menjunjung manusia kearah ketabahan, kepasrahan, keteduhan hati dan keikhlasan, bak mutiara terpendam yang menyorotkan cahaya pasrah, menyambut keridhaan Ilahi. Peneladanannya terhadap Nabi saw. menggeser segala kesukaannya terhadap segala penghuni bumi. Itulah sebabnya, kehambaannya bertahan walau cobaan menerpa. Abu Wada’ah berbahagia dengan takdirnya, maka keabadian menghampirinya dengan segala keindahannya. Surga dunia, juga surga Akhirat.
Sumber: Shuwarun Min Hayaati at-Taabi’iin oleh Dr Abdurrahman Ra`fat al-Basya dan Al-Mukhtâr min qishasil Akhyâr oleh Musthafa Syaikh Ibrahim Haqqi.





"Hidup tanpa tantangan tidak patut untuk dijalani, karena layang-layang terbang bukan mengikuti arus tapi justru menentangnya" #salam Persahabatan Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Read More..

Bersemangatlah Menuntut Ilmu Agama

Posted by J Jumat, 07 Maret 2014 0 komentar


Menuntut ilmu agama termasuk amal yang paling mulia, dan ia merupakan tanda dari kebaikan. Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Orang yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan, akan dimudahkan untuk memahami ilmu agama” (HR. Bukhari-Muslim). Hal ini dikarenakan dengan menuntut ilmu agama seseorang akan mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat baginya untuk melakukan amal shalih.

Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya, “Dan Allahlah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan hudaa dan dinul haq” [At Taubah: 33]. Dan hudaa di sini adalah ilmu yang bermanfaat, dan maksud dinul haq di sini adalah amal shalih. Selain itu, Allah Ta’ala pernah memerintahkan Nabi-Nya Shalallahu’alaihi Wasallam untuk meminta tambahan ilmu, Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah (Wahai Muhammad), Ya Rabb, tambahkanlah ilmuku” [Thaha: 114]. Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Ayat ini adalah dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu. Karena Allah Ta’ala tidak pernah memerintahkan Nabinya Shalallahu’alaihi Wasallam untuk meminta tambahan terhadap sesuatu, kecuali ilmu” [Fathul Baari, 187/1]. Dan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam memberi nama majlis ilmu agama dengan ‘Riyadhul Jannah’ (Taman Surga). Beliau juga memberi julukan kepada para ulama sebagai ‘Warotsatul Anbiyaa’ (Pewaris Para Nabi).
Dari sisi keilmuan dan pengamalan terhadap ilmu, manusia terbagi menjadi 3 jenis:
Jenis yang pertama yaitu orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya. Mereka ini adalah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah untuk menempuh shiratal mustaqim, yaitu jalan yang lurus yang telah ditempuh oleh para nabi, orang-orang jujur, pada syuhada, dan orang-orang shalih. Dan merekalah teman yang terbaik.
Jenis yang kedua yaitu orang yang berilmu namun tidak mengamalkannya. Mereka ini adalah orang-orang yang dimurkai oleh Allah, semisal orang-orang Yahudi dan pengikut mereka.
Jenis yang ketiga yaitu orang yang beramal tanpa ilmu. Mereka ini adalah orang-orang yang sesat, semisal orang-orang Nashrani dan para pengikut mereka.
Ketiga jenis manusia ini tercakup dalam surat Al Fatihah yang senantiasa kita baca setiap rakat dalam shalat kita,yang artinya: ”Ya Rabb, tunjukkanlah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan yang telah ditempuh oleh orang-orang yang Engkau beri ni’mat, bukan jalannya orang yang Engkau murkai dan bukan jalannya orang-orang yang sesat” [Al Fatihah: 6 - 7].
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Firman Allah Ta’ala (yang artinya) ‘bukan jalannya orang yang Engkau murkai dan bukan jalannya orang-orang yang sesat’, yang dimaksud orang yang dimurkai di sini adalah para ulama yang tidak mengamalkan ilmu mereka. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang beramal tanpa ilmu. Apapun yang pertama, adalah sifat Yahudi. Dan yang kedua adalah sifat Nashrani. Namun kebanyakan orang jika melihat tafsir ayat ini mereka mengira bahwa sifat ini khusus bagi Yahudi dan Nashrani saja, padahal ia membaca bahwa Rabb-nya memerintahkan untuk membaca doa tersebut dan berlindung dari jalannya orang-orang yang bersifat demikian. Subhanallah! Bagaimana mungkin Allah mengabarkan sesuatu dan memilah sesuatu serta memerintahkan untuk selalu berdoa jika tidak ada maksud untuk memberi peringatan atau memberi gambaran keburukan mereka untuk dijauhi. Hal ini termasuk perbuatan berprasangka buruk terhadap Allah. (Karena mengira bahwa firman Allah tersebut tidak ada faedahnya -pent.)”. (Lihat Tarikh Najdi, Ibnu Ghonam)
Dan beliau juga menjelaskan tentang hikmah diwajibkannya membaca surat Al Fatihah dalam tiap rakaat shalat kita, baik shalat wajib maupun shalat sunnah, yaitu sebuah rahasia yang agung. Secara ringkas rahasia dari doa tersebut adalah harapan agar Allah Ta’ala memberikan kita petunjuk kepada jalannya orang-orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, yang merupakan jalan keselamatan di dunia dan di akhirat. Juga harapan agar Allah Ta’ala menjaga kita dari jalannya orang-orang yang binasa, yaitu orang-orang yang berlebihan dalam amal shalih saja atau berlebihan dalam ilmu saja.
Kemudian, ketahuilah wahai pembaca yang budiman, ilmu yang bermanfaat itu di ambil dari Al Qur’an dan hadits, dengan bantuan para pengajar, juga dengan bantuan kitab-kitab tafsir Al Qur’an dan kitab syarah (penjelasan) hadits, kitab fiqih, kitab nahwu, dan kitab bahasa arab yang merupakan bahasa Al Qur’an. Semua kitab ini adalah gerbang untuk memahami Al Qur’an dan Sunnah.
Wahai saudaraku, agar amalmu termasuk amal shalih, wajib bagimu untuk mempelajari hal-hal pokok yang menegakkan agamamu. Seperti mempelajari tentang shalat, puasa, haji, zakat, juga mempelajari perkara muamalah yang engkau butuhkan. Agar engkau dapat mengambil yang boleh saja dan tidak terjerumus pada hal yang diharamkan oleh Allah Ta’ala. Agar penghasilanmu halal, makananmu halal sehingga doamu dapat dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Semua ini adalah hal-hal yang mempelajarinya adalah kebutuhan bagimu. Semua ini akan mudah dijalani, dengan izin Allah, bila benar tekadmu dan bersih niatmu.
Maka bersemangatlah membaca kitab-kitab yang bermanfaat, dan berkonsultasilah dengan para ulama. Tanyakanlah kepada mereka tentang hal-hal yang membuatmu bingung, dan temukan jawaban tentang hukum-hukum agamamu. Hal ini bisa dilakukan dengan menghadiri pengajian-pengajian yang diadakan di masjid atau di tempat lain, atau mendengarkan program-program Islami dari siaran radio, atau membaca majalah atau buletin yang membahas permasalahan agama, jika engkau bersemangat terhadap semua media-media yang bermanfaat ini, tentu bersinarlah cahaya ilmu bagimu dan teranglah penglihatanmu.
Dan jangan lupa saudaraku, ilmu itu akan disucikan dengan amal. Jika engkau mengamalkan apa yang telah engkau ilmui, maka Allah Ta’ala akan menambahkan ilmu bagimu. Sebagaimana peribahasa orang arab “Orang yang mengamalkan apa yang telah ia ilmui, maka Allah akan mewarisinya ilmu yang belum ia ilmui”. Peribahasa ini dibenarkan oleh firman Allah Ta’ala yang artinya: “Bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan membuatmu berilmu. Sungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” [Al Baqarah: 272]
Ilmu adalah kesibukan yang paling layak untuk mengisi waktu, ia juga merupakan hadiah yang paling layak untuk diperlombakan bagi orang-orang yang berakal. Ilmu akan menghidupkan hati dan mensucikan amal.
Allah Ta’ala telah memuji para ulama yang mengamalkan ilmunya, dan mengangkat derajat mereka dalam Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu? Sesungguhnya hanya orang yang berakal saja yang dapat menerima pelajaran” [Az Zumar: 9]. Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya, “Allah telah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu dari kalian beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” [Al Mujaadalah: 11]. Allah Ta’ala telah menjelaskan keistimewaan orang-orang berilmu yang digandengkan dengan iman. Kemudian setelah itu Allah mengabarkan Ia Maha Mengetahui atas apa yang kita kerjakan. Maka di sini terdapat tanda yang menunjukkan bahwa ilmu harus digandmuqorobah kepada AllahSubhanahu Wa Ta’ala.
engkan dengan amal, dan juga harus bersandar pada iman dan
[Diterjemahkan dari muqoddimah kitab “Al Mulakhos Al Fiqhiy”, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan]
Penerjemah: Yulian Purnama

MOTTO
"Hidup tanpa tantangan tidak patut untuk dijalani, karena layang-layang terbang bukan mengikuti arus tapi justru menentangnya"
#salam PersahabatanRelated Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Read More..

LIKE FANPAGE INDAHNYA PERSAHABATAN

KELUARGA HIMPUNAN

KELUARGA HIMPUNAN

Total Pengunjung