Pesan Bagi Para Hakim
Sabtu, 25 Oktober 2014
0
komentar
Siapakah Abu Nawas?
Tokoh yang dinggap badut namun juga dianggap ulama besar ini— sufi, tokoh
super lucu yang tiada bandingnya ini aslinya orang Persia yang dilahirkan pada
tahun 750 M di Ahwaz meninggal pada tahun 819 M di Baghdad. Setelah dewasa ia
mengembara ke Bashra dan Kufa. Di sana ia belajar bahasa Arab dan bergaul rapat
sekali dengan orang-orang badui padang pasir. Karena pergaulannya itu ia mahir
bahasa Arab dan adat istiadat dan kegemaran orang Arab", la juga pandai
bersyair, berpantun dan menyanyi. la sempat pulang ke negerinya, namun pergi
lagi ke Baghdad bersama ayahnya,
keduanya menghambakan diri kepada Sultan Harun Al Rasyid Raja Baghdad.
Mari kita mulai kisah
penggeli hati ini. Bapaknya Abu Nawas adalah Penghulu Kerajaan Baghdad bernama Maulana.
Pada suatu hari bapaknya Abu Nawas yang sudah tua itu sakit parah dan akhirnya
meninggal dunia.
Abu Nawas dipanggil ke
istana. la diperintah Sultan (Raja) untuk mengubur jenazah bapaknya itu
sebagaimana adat Syeikh Maulana. Apa yang dilakukan Abu Nawas hampir tiada
bedanya dengan Kadi Maulana baik mengenai tatacara memandikan jenazah hingga
mengkafani, menyalati dan mendo'akannya, maka Sultan bermaksud mengangkat Abu
Nawas menjadi Kadi atau penghulu menggantikan kedudukan bapaknya.
Namun... demi mendengar
rencana sang Sultan.
Tiba-tiba saja Abu
Nawas yang cerdas itu tiba-tiba nampak berubah menjadi gila.
Usai upacara pemakaman
bapaknya. Abu Nawas mengambil batang sepotong batang pisang dan diperlakukannya
seperti kuda, ia menunggang kuda dari batang pisang itu sambil berlari-lari
dari kuburan bapaknya menuju rumahnya. Orang yang melihat menjadi
terheran-heran dibuatnya.
Pada hari yang lain ia
mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup banyak untuk pergi ke makam
bapaknya. Dan di atas makam bapaknya itu ia mengajak anak-anak bermain rebana
dan bersuka cita.
Kini semua orang
semakin heran atas kelakuan Abu Nawas itu, mereka menganggap Abu Nawas sudah
menjadi gila karena ditinggal mati oleh bapaknya.
Pada suatu hari ada
beberapa orang utusan dari Sultan Harun Al Rasyid datang menemui Abu Nawas.
"Hai Abu Nawas kau
dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana." kata wazir utusan Sultan.
"Buat apa sultan
memanggilku, aku tidak ada keperluan dengannya."jawab Abu Nawas dengan
entengnya seperti tanpa beban.
"Hai Abu Nawas kau
tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu."
"Hai wazir, kau
jangan banyak cakap. Cepat ambil ini kudaku ini dan mandikan di sungai supaya
bersih dan segar." kata Abu Nawas sambil menyodorkan sebatang pohon pisang
yang dijadikan kuda-kudaan.
Si wazir hanya
geleng-geleng kepala melihat kelakuan Abu Nawas.
"Abu Nawas kau mau
apa tidak menghadap Sultan?" kata wazir
"Katakan kepada
rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau." kata Abu Nawas.
"Apa maksudnya Abu
Nawas?" tanya wazir dengan rasa penasaran.
"Sudah pergi sana,
bilang saja begitu kepada rajamu." sergah Abu Nawas sembari menyaruk debu
dan dilempar ke arah si wazir dan teman-temannya.
Si wazir segera
menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka laporkan keadaan Abu Nawas yang
seperti tak waras itu kepada Sultan Harun Al Rasyid.
Dengan geram Sultan
berkata,"Kalian bodoh semua, hanya menghadapkan Abu Nawas kemari saja tak
becus! Ayo pergi sana ke rumah Abu Nawas bawa dia kemari dengan suka rela
ataupun terpaksa."
Si wazir segera
mengajak beberapa prajurit istana. Dan dengan paksa Abu Nawas di hadirkan di
hadapan raja.
Namun lagi-lagi di
depan raja Abu Nawas berlagak pilon bahkan tingkahnya ugal-ugalan tak
selayaknya berada di hadapan seorang raja.
"Abu Nawas
bersikaplah sopan!" tegur Baginda.
"Ya Baginda,
tahukah Anda....?"
"Apa Abu
Nawas...?"
"Baginda... terasi
itu asalnya dari udang !"
"Kurang ajar kau
menghinaku Nawas !"
"Tidak Baginda!
Siapa bilang udang berasal dari terasi?"
Baginda merasa
dilecehkan, ia naik pitam dan segera memberi perintah kepada para pengawalnya.
"Hajar dia ! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali"
Wah-wah! Abu Nawas yang
kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya dipukuli tentara yang bertubuh
kekar.
Usai dipukuli Abu Nawas
disuruh keluar istana. Ketika sampai di pintu gerbang kota, ia dicegat oleh
penjaga.
"Hai Abu Nawas!
Tempo hari ketika kau hendak masuk ke kota ini kita telah mengadakan
perjanjian. Masak kau lupa pada janjimu itu? Jika engkau diberi hadiah oleh
Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian, aku satu bagian.
Nah, sekarang mana bagianku itu?"
"Hai penjaga pintu
gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadiah Baginda yang diberikan
kepada tadi?"
"lya, tentu itu
kan sudah merupakan perjanjian kita?"
"Baik, aku berikan
semuanya, bukan hanya satu bagian!"
"Wan ternyata kau
baik hati Abu Nawas. Memang harusnya begitu, kau kan sudah sering menerima
hadiah dari Baginda."
Tanpa banyak cakap lagi
Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar lalu orang itu dipukulinya
sebanyak dua puluh lima kali.Tentu saja orang itu menjerit-jerit kesakitan dan
menganggap Abu Nawas telah menjadi gila.
Setelah penunggu
gerbang kota itu klenger Abu Nawas meninggalkannya begitu saja, ia terus
melangkah pulang ke rumahnya.
Sementara itu si
penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan Harun Al Rasyid.
"Ya, Tuanku Syah
Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari mengadukan Abu Nawas yang teiah
memukul hamba sebanyak dua puluh lima kali tanpa suatu kesalahan. Hamba mohom
keadilan dari Tuanku Baginda."
Baginda segera
memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas berada di
hadapan Baginda ia ditanya."Hai Abu Nawas! Benarkah kau telah memukuli
penunggu pintu gerbang kota ini sebanyak dua puluh lima kali pukulan?"
Berkata Abu
Nawas,"Ampun Tuanku, hamba melakukannya karena sudah sepatutnya dia
menerima pukulan itu."
"Apa maksudmu?
Coba kau jelaskan sebab musababnya kau memukuli orang itu?" tanya Baginda.
"Tuanku,"kata
Abu Nawas."Hamba dan penunggu pintu gerbang ini telah mengadakan
perjanjian bahwa jika hamba diberi hadiah oleh Baginda maka hadiah tersebut
akan dibagi dua. Satu bagian untuknya satu bagian untuk saya. Nah pagi tadi
hamba menerima hadiah dua puluh lima kali pukulan, maka saya berikan pula
hadiah dua puluh lima kali pukulan kepadanya."
"Hai penunggu
pintu gerbang, benarkah kau telah mengadakan perjanjian seperti itu dengan Abu
Nawas?" tanya Baginda.
"Benar
Tuanku,"jawab penunggu pintu gerbang.
"Tapi hamba tiada mengira jika Baginda
memberikan hadiah pukulan."
"Hahahahaha IDasar tukang peras, sekarang kena
batunya kau!"sahut Baginda."Abu Nawas tiada bersalah, bahkan sekarang
aku tahu bahwa penjaga pintu gerbang kota Baghdad adalah orang yang suka
narget, suka memeras orang! Kalau kau tidak merubah kelakuan burukmu itu
sungguh aku akan memecat dan menghukum kamu!"
"Ampun
Tuanku,"sahut penjaga pintu gerbang dengan gemetar.
Abu Nawas
berkata,"Tuanku, hamba sudah lelah, sudah mau istirahat, tiba-tiba
diwajibkan hadir di tempat ini, padahal hamba tiada bersalah. Hamba mohon ganti
rugi. Sebab jatah waktu istirahat hamba sudah hilang karena panggilan Tuanku.
Padahal besok hamba harus mencari nafkah untuk keluarga hamba."
Sejenak Baginda
melengak, terkejut atas protes Abu Nawas, namun tiba-tiba ia tertawa
terbahak-bahak, "Hahahaha...jangan kuatir Abu Nawas."
Baginda kemudian
memerintahkan bendahara kerajaan memberikan sekantong uang perak kepada Abu
Nawas. Abu Nawas pun pulang dengan hati gembira.
Tetapi sesampai di
rumahnya Abu Nawas masih bersikap aneh dan bahkan semakin nyentrik seperti
orang gila sungguhan.
Pada suatu hari Raja
Harun Al Rasyid mengadakan rapat dengan para menterinya.
"Apa pendapat
kalian mengenai Abu Nawas yang hendak kuangkat sebagai kadi?"
Wazir atau perdana
meneteri berkata,"Melihat keadaan Abu Nawas yang semakin parah otaknya
maka sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja menjadi kadi."
Menteri-menteri yang
lain juga mengutarakan pendapat yang sama.
"Tuanku, Abu Nawas
telah menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi kadi."
"Baiklah, kita
tunggu dulu sampai dua puluh satu hari, karena bapaknya baru saja mati. Jika
tidak sembuh-sembuh juga bolehlah kita mencari kadi yang lain saja."
Setelah lewat satu
bulan Abu Nawas masih dianggap gila, maka Sultan Harun Al Rasyid mengangkat
orang lain menjadi kadi atau penghulu kerajaan Baghdad.
Konon dalam seuatu
pertemuan besar ada seseorang bernama Polan yang sejak lama berambisi menjadi
Kadi, la mempengaruhi orang-orang di sekitar Baginda untuk menyetujui jika ia
diangkat menjadi Kadi, maka tatkala ia mengajukan dirinya menjadi Kadi kepada
Baginda maka dengan mudah Baginda menyetujuinya.
Begitu mendengar Polan
diangkat menjadi kadi maka Abu Nawas mengucapkan syukur kepada Tuhan.
"Alhamdulillah aku telah terlepas dari balak yang
mengerikan. Tapi.,..sayang sekali kenapa harus Polan yang menjadi Kadi, kenapa
tidak yang lain saja."
Mengapa Abu Nawas
bersikap seperti orang gila? Ceritanya begini:
Pada suatu hari ketika
ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia ia panggii Abu Nawas untuk
menghadap. Abu Nawas pun datang mendapati bapaknya yang sudah lemah lunglai.
Berkata
bapaknya,"Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah telinga
kanan dan telinga kiriku."
Abu Nawas segera
menuruti permintaan terakhir bapaknya. la cium telinga kanan bapaknya, ternyata
berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau sangat busuk.
"Bagamaina anakku?
Sudah kau cium?"
"Benar
Bapak!"
"Ceritakankan
dengan sejujurnya, baunya kedua telingaku int."
"Aduh Pak, sungguh
mengherankan, telinga Bapak yang sebelah kanan berbau harum sekali. Tapi...
yang sebelah kiri kok baunya amat busuk?"
"Hai anakku Abu
Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini?"
"Wahai bapakku,
cobalah ceritakan kepada anakmu ini."
Berkata Syeikh Maulana
"Pada suatu hari datang dua orang mengadukan masalahnya kepadaku. Yang
seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku tak suaka
maka tak kudengar pengaduannya. Inilah resiko menjadi Kadi (Penghulu). Jia
kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hai yang sama, namun jika
kau tidak suka menjadi Kadi maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak
dipilih sebagai Kadi oleh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak Sultan
Harun Al Rasyid pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi."
Nan, itulah sebabnya
Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk menghindarkan diri agar tidak
diangkat menjadi kadi, seorang kadi atau penghulu pada masa itu kedudukannya seperti
hakim yang memutus suatu perkara. Walaupun Abu Nawas tidak menjadi Kadi namun
dia sering diajak konsultasi oleh sang Raja untuk memutus suatu perkara. Bahkan
ia kerap kali dipaksa datang ke istana hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan
Baginda Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal.
oo000oo
0 komentar:
Posting Komentar