Mengambil Tauladan dari Imam Ahmad bin Hanbal
Senin, 30 Juni 2014
0
komentar
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
berkata: “Ahmad bin Hanbal adalah seorang tauladan dalam 8 hal:
tauladan dalam bidang hadits, fiqih, bahasa arab, Al-Qur’an, kefakiran,
zuhud, wara’ dan dalam berpegang teguh dengan sunnah Nabi
shalallahu’alaihi wa sallam.
Kunyah dan Nama Lengkap beliau rahimahullah
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan
bin Abdillah bin Anas bin ‘Auf bin Qosith bin Mazin bin Syaiban Adz
Dzuhli Asy-Syaibani Al-Marwazi Al-Baghdadi.
Lahir pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164
Hijriyah di kota Marwa. Beliau lebih dikenal dengan Ahmad bin Hanbal,
disandarkan kepada kakeknya. Karena sosok kakeknya lebih dikenal
daripada ayahnya. Ayahnya meninggal ketika beliau masih berusia 3 tahun.
Kemudian sang ibu yang bernama Shafiyah binti Maimunah membawanya ke
kota Baghdad. Ibunya benar-benar mengasuhnya dengan pendidikan yang
sangat baik hingga beliau tumbuh menjadi seorang yang berakhlak mulia.
Perjalanan beliau dalam menuntut ilmu
Sungguh mengagumkan semangat Al-Imam
Ahmad bin Hanbal di dalam menuntut ilmu. Beliau hafal Al-Qur’an pada
masa kanak-kanak. Beliau juga belajar membaca dan menulis. Semasa kecil
beliau aktif mendatangi kuttab (semacam TPA di zaman sekarang).
Kemudian pada tahun 179 Hijriyah, saat
usianya 15 tahun, beliau memulai menuntut ilmu kepada para ulama
terkenal di masanya. Beliau awali dengan menimba ilmu kepada para ulama
Baghdad, di kota yang ia tinggali.
Di kota Baghdad ini, beliau belajar sejumlah ulama, diantaranya:
1. Al-Imam Abu Yusuf, murid senior Al-Imam Abu Hanifah.
2. Al-Imam Husyaim bin Abi Basyir. Beliau mendengarkan dan sekaligus menghafal banyak hadits darinya selama 4 tahun.
3. ‘Umair bin Abdillah bin Khalid.
4. Abdurrahman bin Mahdi.
5. Abu Bakr bin ‘Ayyasy.
Pada tahun 183 Hijriyah pada usia 20
tahun, beliau pergi untuk menuntut ilmu kepada para ulama di kota Kufah.
Pada tahun 186 H beliau belajar ke Bashrah. Kemudian pada tahun 187 H
beliau belajar kepada Sufyan bin ‘Uyainah di Qullah, sekaligus
menunaikan ibadah haji yang pertama kali. Kemudian pada tahun 197 H
beliau belajar kepada Al-Imam ‘Abdurrazaq Ash Shan’ani di Yaman bersama
Yahya bin Ma’in.
Yahya bin Ma’in menceritakan: “Aku
keluar ke Shan’a bersama Ahmad bin Hanbal untuk mendengarkan hadits dari
‘Abdurrazaq Ash Shan’ani. Dalam perjalanan dari Baghdad ke Yaman, kami
melewati Makkah. Kami pun menunaikan ibadah haji. Ketika sedang thawaf,
tiba-tiba aku berjumpa dengan ‘Abdurrazaq, beliau sedang thawaf di
Baitullah. Beliau sedang menunaikan ibadah haji pada tahun itu. Aku pun
mengucapkan salam kepada beliau dan aku kabarkan bahwa aku bersama Ahmad
bin Hanbal. Maka beliau mendoakan Ahmad dan memujinya. Yahya bin Ma’in
melanjutkan, “Lalu aku kembali kepada Ahmad dan berkata kepadanya,
“Sungguh Allah telah mendekatkan langkah kita, mencukupkan nafkah atas
kita, dan mengistirahatkan kita dari perjalanan selama satu bulan.
Abdurrazaq ada di sini. Mari kita mendengarkan hadits dari beliau!”
Maka Ahmad berkata, “Sungguh tatkala di
Baghdad aku telah berniat untuk mendengarkan hadits dari ‘Abdurrazaq di
Shan’a. Tidak demi Allah, aku tidak akan mengubah niatku selamanya.’
Setelah menyelesaikan ibadah haji, kami berangkat ke Shan’a. Kemudian
habislah bekal Ahmad ketika kami berada di Shan’a. Maka ‘Abdurrazaq
menawarkan uang kepadanya, tetapi dia menolaknya dan tidak mau menerima
bantuan dari siapa pun. Beliau pun akhirnya bekerja membuat tali celana
dan makan dari hasil penjualannya.” Sebuah perjalanan yang sangat berat
mulai dari Baghdad (‘Iraq) sampai ke Shan’a (Yaman). Namun beliau
mengatakan: “Apalah arti beratnya perjalanan yang aku alami dibandingkan
dengan ilmu yang aku dapatkan dari Abdurrazaq.”
Al-Imam Abdurrazaq sering menangis jika
disebutkan nama Ahmad bin Hanbal dihadapannya, karena teringat akan
semangat dan penderitaannya dalam menuntut ilmu serta kebaikan
akhlaknya.
Beliau melakukan perjalanan dalam rangka
menuntut ilmu ke berbagai negeri seperti Syam, Maroko, Aljazair,
Makkah, Madinah, Hijaz, Yaman, Irak, Persia, Khurasan dan berbagai
daerah yang lain. Kemudian barulah kembali ke Baghdad.
Pada umur 40 tahun, beliau mulai
mengajar dan memberikan fatwa. Dan pada umur tersebut pula beliau
menikah dan melahirkan keturunan yang menjadi para ulama seperti
Abdullah dan Shalih. Beliau tidak pernah berhenti untuk terus menuntut
ilmu. Bahkan, walaupun usianya telah senja dan telah mencapai tingkatan
seorang Imam, beliau tetap menuntut ilmu.
Guru-guru beliau
Beliau menuntut ilmu dari para ulama
besar seperti Husyaim bin Abi Basyir, Sufyan bin Uyainah, Al-Qadhi Abu
Yusuf, Yazid bin Harun, Abdullah bin Al-Mubarak, Waki’, Isma’il bin
‘Ulayyah, Abdurrahman bin Mahdi, Al-Imam Asy-Syafi’i, Abdurrazaq,
Muhammad bin Ja’far (Ghundar), Jarir bin Abdul Hamid, Hafsh bin Ghiyats,
Al-Walid bin Muslim, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dukain dan lain-lain.
Al-Imam Adz Dzahabi menyebutkan dalam
kitab As-Siyar, jumlah guru-guru Al-Imam Ahmad yang beliau riwayatkan
dalam Musnadnya lebih dari 280 orang.
Murid-murid beliau
Para ulama yang pernah belajar kepada
beliau adalah para ulama besar pula seperti Muhammad bin Yahya
Adz-Dzuhli, Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Dawud, An-Nasai,
At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Zur’ah, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Qilabah,
Baqi bin Makhlad, Ali bin Al-Madini, Abu Bakr Al-Atsram, Shalih dan
Abdullah (putra beliau), dan sejumlah ulama besar lainnya.
Bahkan yang dulunya pernah menjadi
guru-guru beliau, kemudian mereka meriwayatkan hadits dari beliau
seperti Al-Imam Abdurrazaq, Al-Hasan bin Musa Al-Asyyab, Al-Imam
Asy-Syafi’i.
Al-Imam Asy-Syafi’i ketika meriwayatkan
dari Al-Imam Ahmad tidak menyebutkan namanya bahkan dengan gelarnya,
“Telah menghaditskan kepadaku Ats-Tsiqat (seorang yang terpercaya).
Demikian pula teman-temannya seperjuangan dalam menuntut ilmu, mereka juga meriwayatkan dari beliau, seperti Yahya bin Ma’in.
Ahlak dan Ibadah Beliau rahimahullah
Pertumbuhan beliau berpengaruh terhadap
kematangan dan kedewasaannya. Sampai-sampai sebagian ulama menyatakan
kekaguman akan adab dan kebaikan akhlaknya, “Aku mengeluarkan biaya
untuk anakku dengan mendatangkan kepada mereka para pendidik agar mereka
mempunyai adab, namun aku lihat mereka tidak berhasil. Sedangkan ini
(Ahmad bin Hanbal) adalah seorang anak yatim, lihatlah oleh kalian
bagaimana dia!”
Beliau adalah seorang yang menyukai
kebersihan, suka memakai pakaian berwarna putih, paling perhatian
terhadap dirinya, merawat dengan baik kumisnya, rambut kepalanya dan
bulu tubuhnya.
Orang-orang yang hadir di majelis beliau
tidak sekedar menimba ilmunya saja bahkan kebanyakan mereka hanya
sekedar ingin mengetahui akhlaq beliau.
Majelis yang diadakan oleh beliau
dihadiri oleh sekitar 5000 orang. Yang mencatat pelajaran yang beliau
sampaikan jumlahnya adalah kurang dari 500 orang. Sementara sisanya
sekitar 4500 orang tidak mencatat pelajaran yang beliau sampaikan namun
sekedar memperhatikan akhlak dan samt (baiknya penampilan dalam perkara
agama) beliau.
Yahya bin Ma’in berkata: “Aku tidak
pernah melihat orang yang seperti Ahmad. Kami bersahabat dengannya
selama 50 tahun. Dan belum pernah kulihat ia membanggakan dirinya atas
kami dengan sesuatu yang memang hal itu ada pada dirinya.”
Beliau juga sangat benci apabila namanya
disebut-sebut (dipuji) di tengah-tengah manusia, sehingga beliau pernah
berkata kepada seseorang: “Jadilah engkau orang yang tidak dikenal,
karena sungguh aku benar-benar telah diuji dengan kemasyhuran.”
Beliau menolak untuk dicatat fatwa dan
pendapatnya. Berkata seseorang kepada beliau: “Aku ingin menulis
permasalahan-permasalahan ini, karena aku takut lupa.” Berkata beliau:
“Sesungguhnya aku tidak suka, engkau mencatat pendapatku.”
Beliau adalah seorang yang sangat kuat
ibadahnya. Putra beliau yang bernama Abdullah menceritakan tentang
kebiasaan ayahnya: ” Dahulu ayahku shalat sehari semalam sebanyak 300
rakaat. Dan tatkala kondisi fisik beliau mulai melemah akibat pengaruh
dari penyiksaan yang pernah dialaminya maka beliau hanya mampu shalat
sehari semalam sebanyak 150 rakaat.”
Abdullah mengatakan: “Terkadang aku
mendengar ayah pada waktu sahur mendoakan kebaikan untuk beberapa orang
dengan menyebut namanya. Ayah adalah orang yang banyak berdoa dan
meringankan doanya. Jika ayah shalat Isya, maka ayah membaguskan
shalatnya kemudian berwitir lalu tidur sebentar kemudian bangun dan
shalat lagi. Bila ayah puasa, beliau suka untuk menjaganya kemudian
berbuka sampai waktu yang ditentukan oleh Allah. Ayah tidak pernah
meninggalkan puasa Senin-Kamis dan puasa ayyamul bidh (puasa tiga hari, tanggal 13, 14, 15 dalam bulan Hijriyah).
Dalam riwayat lain beliau berkata: “Ayah
membaca Al-Qur’an setiap harinya 1/7 Al-Qur’an. Beliau tidur setelah
Isya dengan tidur yang ringan kemudian bangun dan menghidupkan malamnya
dengan berdoa dan shalat.
Suatu hari ada salah seorang murid
beliau menginap di rumahnya. Maka beliau menyiapkan air untuknya (agar
ia bisa berwudhu). Maka tatkala pagi harinya, beliau mendapati air
tersebut masih utuh, maka beliau berkata: “Subhanallah, seorang penuntut
ilmu tidak melakukan dzikir pada malam harinya?”
Beliau telah melakukan haji sebanyak
lima kali, tiga kali diantaranya beliau lakukan dengan berjalan kaki
dari Baghdad dan pada salah satu hajinya beliau pernah menginfakkan
hartanya sebanyak 30 dirham.
Ujian yang menimpa beliau
Beliau menerima ujian yang sangat berat
dan panjang selama 3 masa kekhalifahan yaitu Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim,
dan Al-Watsiq. Beliau dimasukkan ke dalam penjara kemudian dicambuk atau
disiksa dengan berbagai bentuk penyiksaan. Itu semua beliau lalui
dengan kesabaran dalam rangka menjaga kemurnian aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, yaitu Al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk. Di masa
itu, aqidah sesat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk (bukan
kalamullah) diterima dan dijadikan ketetapan resmi oleh pemerintah.
Sedangkan umat manusia menunggu untuk
mencatat pernyataan (fatwa) beliau. Seandainya beliau tidak sabar
menjaga kemurnian aqidah yang benar, dan menyatakan bahwa Al-Qur’an
adalah makhluk, niscaya manusia akan mengiktui beliau. Namun beliau
tetap tegar dan tabah menerima semua ujian tersebut. Walaupun beliau
harus mengalami penderitaan yang sangat. Pernah beliau mengalami 80 kali
cambukan yang kalau seandainya cambukan tersebut diarahkan kepada
seekor gajah niscaya ia akan mati. Namun beliau menerima semua itu
dengan penuh kesabaran demi mempertahankan aqidah Ahlus Sunnah.
Sampai akhirnya, pada masa khalifah Al-Mutawakkil, beliau dibebaskan dari segala bentuk penyiksaan tersebut.
Wafat beliau rahimahullah
Pada Rabu malam tanggal 3 Rabi’ul Awal
tahun 241 Hijriyah, beliau mengalami sakit yang cukup serius. Sakit
beliau semakin hari semakin bertambah parah. Manusia pun berduyun-duyun
siang dan malam datang untuk menjenguk dan menyalami beliau. Kemudian
pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awal, di hari yang ke sembilan dari
sakitnya, mereka berkumpul di rumah beliau sampai memenuhi jalan-jalan
dan gang. Tak lama kemudian pada siang harinya beliau menghembuskan
nafas yang terakhir. Maka meledaklah tangisan dan air mata mengalir
membasahi bumi Baghdad. Beliau wafat dalam usia 77 tahun. Sekitar 1,7
juta manusia ikut mengantarkan jenazah beliau. Kaum muslimin dan bahkan
orang-orang Yahudi, Nasrani serta Majusi turut berkabung pada hari
tersebut.
Selamat jalan, semoga Allah merahmatimu dengan rahmat-Nya yang luas dan menempatkanmu di tempat yang mulia di Jannah-Nya.
Maraji’:
1. Musthalah Hadits karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 63-66.
2. Pewaris Para Nabi hal. 49,55,91,94,173,1843. Mahkota yang hilang hal.39
4. Kitab Fadhail Ash-Shahabah jilid I hal 25-32.
5. Siyar A’lamin Nubala
6. Al-Bidayah wan Nihayah
7. Mawa’izh Al-Imam Ahmad
Buletin Islam Al Ilmu Edisi No : 29/VII/VIII/1431