Lelaki Dua Surga
Rabu, 12 Maret 2014
0
komentar
Lelaki Dua Surga
Oleh: Aidil
Heryana, S.Sosi
dakwatuna.com
– “Sesungguhnya
putriku ini adalah amanah di pundakku dan aku berusaha mencari untuk kebaikan
urusannya pada apa yang telah aku perbuat.” Atas alasan itulah Said Bin
Musayyib menolak pinangan Amirul Mukminin dan menikahkan putrinya dengan orang
kalangan biasa dari kaum muslimin.
Mendung duka
belum tersaput dari wajah lelaki yang baru kehilangan orang yang paling
dikasihi. Dia tidak tahu bahwa ternyata malam itu adalah malam terakhir dirinya
menjumpai istri di rumahnya yang sederhana.. Terbayang kembali wajah istrinya,
yang demikian baik kepadanya. Dialah yang senantiasa menghibur kesedihannya.
Ikut memahami dan merasakan kegalauannya. Istri yang selalu mendoakannya agar
dirinya mendapatkan hidayah Allah. Istri yang senantiasa mengalirkan air mata
pada tiap-tiap pertengahan malam, yang selalu menyemangati untuk selalu mencari
ridha Allah.
Namun
kegembiraan tidaklah boleh berlebihan, duka pun tak boleh berkelanjutan. Pria
shaleh yang mendalam ilmunya ini menyadari bahwa duka kematian istrinya tidak
boleh berlarut-larut. Kecintaannya akan majelis ilmu yang dipimpin gurunya Said
Bin Musayyib harus segera dihadiri lagi.
“Allahu
akbar, Allahu akbar,” Adzan subuh pun berkumandang. Gemanya menggetarkan jiwa.
Menerobos bilik-bilik rumahnya yang sederhana. Suara yang selalu dinanti. Suara
yang selalu bisa membawanya terbang tinggi, menikmati empuknya awan, terbang jauh,
diayun gelombang sahara yang menenangkan. Lengkingan suara yang menghapus
kedukaan, membawanya pada kegembiraan dan melupakan sejenak segala sesak yang
menghimpit tenggorokan.
Aduhai,
alangkah merdunya suara panggilan itu kali ini. Abu Wada’ah merasakan kedamaian
dan ketentraman yang mendalam. Dia menjawab suara muadzin itu, tak terasa
langkahnya telah membawanya ke masjid Nabawi. Masjid tempat dia selama ini
menuntut ilmu. Abu Wada’ah kembali datang ke majelis sebagaimana biasa.
Abdullah bin
Abu Wada’ah dalam beberapa riwayat sering disebut Abu Wada’ah, dia berguru
kepada Said Bin Musayyib, seorang tokoh ulama dari generasi tabi’in bernasab
langsung ke Bani Mahzhum. Seorang ulama yang selalu berpuasa di siang hari,
bangun di tengah malam. Menunaikan haji sekitar empat puluh kali. Sejak empat
puluh tahun tidak pernah terlambat dari takbir pertama di masjid Nabawi dan ia
selalu menjaga untuk berada di shaf pertama. Allah menganugerahkan kelapangan
rezeki, dia bisa menikah dengan siapa saja yang ia kehendaki dari wanita
bangsawan Quraisy, namun ia lebih memilih putri Abu Hurairah ra dari seluruh
para wanita. Yang demikian itu karena kedudukannya dari Rasulullah saw. dan
keluasan riwayatnya terhadap hadits serta raghbah-nya (keinginannya)
yang begitu besar dalam mengambil hadits darinya. Ia telah mendedikasikan
dirinya untuk ilmu semenjak kecil.
Ia belajar
dengan istri-istri Nabi saw. dan mengambil manfaat dari mereka. Berguru kepada
Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Abbas dan Abdullah ibn Umar. Dan juga mendengar
dari Utsman, Ali dan Shuhaib serta sahabat Nabi mulia saw yang lainnya. Said
Bin Musayyib adalah seorang guru yang memiliki keteladanan yang tinggi. Beliau
memiliki dan memimpin sebuah majelis ilmu (halaqah) yang cukup besar di Masjid
Nabawi Madinah, di samping halaqah-halaqah yang lain yang ada di masjid itu,
seperti halaqahnya ‘Urwah bin Zubair, dan Abdullah bin ‘Utbah.
Abu Wada’ah
termasuk seorang murid yang setia, dia tidak pernah absen setiap kali sang guru
mengajar. Makanya sewaktu Abu Wada‘ah tidak datang ke majelis halaqahnya
beberapa kali, tentu saja Said Bin Musayyib merasa kehilangan murid setianya
ini. Beliau merasa khawatir kalau-kalau ketidakhadirannya disebabkan karena
sakit atau karena ada masalah yang menimpanya. Lalu beliau menanyakannya kepada
murid-murid yang lainnya tentang keadaan Abu Wada’ah, tetapi mereka semua
mengatakan tidak tahu.
Subuh itulah
untuk pertama kalinya Abu Wada’ah menampakkan diri kembali di majelis
sebagaimana biasa. Maka sang guru Said Bin Musayyib segera menyambut
kedatangannya dengan sapaan yang penuh perhatian.
“Ke mana
saja engkau ya Aba Wada’ah?” Sapa Sang Guru penuh perhatian
“Istriku
meninggal dunia, sehingga aku sibuk mengurusinya,” Jawabnya.
“Mengapa
tidak memberitahu kami sehingga kami bisa menemanimu dan mengantarkan jenazah
istrimu serta membantu segala keperluanmu,” Sang guru menunjukkan perhatiannya
“Terima
kasih, jazaakallahu khairan,” Jawab sang murid sambil menyembunyikan
perasaannya yang terkesan memang sengaja tidak memberi tahu karena khawatir merepotkan
gurunya. Dan ketika hendak beranjak pergi, sang guru menahannya. Sampai ketika
semua murid yang lainnya telah pulang. Tidak berapa lama kemudian Said Bin
Musayyib menghampiri Abu Wada’ah dan membisikan sesuatu kepadanya.
“Apakah
engkau belum terpikir untuk mencari istri yang baru ya Aba Wada’ah.” Bisik sang
Guru dengan penuh kehati-hatian untuk menjaga perasaan muridnya.
“Semoga
Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu, siapa orangnya yang mau
mengawinkan anak perempuannya dengan pemuda sepertiku yang sejak kecil yatim,
fakir dan hingga sekarang ini aku hanya memiliki dua sampai tiga dirham,”
Tandas Abu Wada’ah yang tampaknya ingin bersikap realistis terhadap keadaan
dirinya.
“Aku yang
akan mengawinkanmu dengan anak perempuanku,” Sang Guru menegaskan ucapannya.
Abu Wada’ah terkejut dan dengan terbata-bata menanggapi tawaran gurunya.
“Eng,…engkau
akan mengawinkanku dengan anak perempuanmu, padahal engkau tahu sendiri
bagaimana keadaanku,” Abu Wada’ah menanggapi setengah tidak percaya.
Beberapa
saat kemudian keduanya terdiam, Sang Guru sendiri tampak arif dan demikian
memahami perasaan muridnya. Tak lama kemudian, Syaikh mengucapkan sebuah
perkataan yang sama sekali tak diduga oleh Abu Wada’ah.
“Ya,…kenapa
tidak, karena ketika telah datang seseorang yang aku ridha terhadap agamanya
dan akhlaknya maka aku akan kawinkan anak perempuanku dengan orang itu, dan
engkau termasuk orang yang aku ridha”. Tegas sang guru.
Padahal
sebelum ini putri beliau pernah dilamar oleh Al-Walid bin Hisyam bin Abdul
Malik, putra mahkota Dinasti Umayyah, pada saat ayahnya Amirul Mu’minin Hisyam
bin Abdul Malik bin Marwan menjadi khalifah. Said Bin Musayyib menolak lamaran
khalifah yang ingin menjodohkan putrinya dengan putera mahkotanya.
Putri Syaikh
Said sendiri adalah salah seorang perempuan tercantik dan sempurna, seorang
puteri yang paling mendalam ilmunya tentang Al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi
meskipun yang melamar anaknya adalah putra mahkota, Said Bin Musayyib tidak
canggung menyampaikan permintaan maafnya karena menolak lamarannya. Keluarga
istana Dinasti Umayyah tetap berusaha keras untuk dapat mempersunting putrinya
itu, namun Said Bin Musayyib tetap tak bergeming, karena ia mengetahui bahwa
Al-Walid adalah pemuda yang banyak melakukan dosa dan lemah agamanya. Dalam
pandangan ahlud-dunia sikap Said Bin Musayyib mungkin dinilai aneh karena
menyia-nyiakan kesempatan untuk menaikkan taraf hidup.
Sementara
bagaimana dengan kita sekarang ini? Atas pertimbangan apa kita menerima dan
menolak seseorang? Adalah Erich Fromm, dalam bukunya berjudul The Art of
Loving, mengungkapkan dengan gamblang bahwa hubungan pria dan wanita pada
jaman modern, pada akhirnya tak lebih dari sebuah proses tukar menukar seperti
layaknya transaksi jual beli di era pasar bebas seperti saat ini. Sang pria menjual
image-nya sebagai sosok yang tampan, dengan tubuh berotot, six packs,
punya segala macam fasilitas mulai dari kendaraan keluaran terbaru, gagdet
keluaran terbaru, dan style berpakaian yang tidak boleh ketinggalah jaman. Tak
lupa, sang wanita pun menjual aset berharga berupa keindahan tubuhnya,
kecantikan, tutur kata yang lemah lembut (meskipun aslinya kadang-kadang
wataknya tidak lemah lembut sama sekali) hingga kecerdasan otaknya.–
Astaghfirullah!
Namun Sa’id
Bin Musayyib jauh dari sifat mengeksploitasi anaknya demi mengejar keuntungan
dunia. Sebagai orang tua sekaligus seorang ‘alim, beliau hanya mendambakan
putrinya mendapatkan jodoh dari orang yang bertaqwa dengan sesungguhnya. Dan
pilihannya jatuh pada salah seorang murid majelis halaqahnya. Ia bukanlah
seorang kaya, apalagi keturunan bangsawan, bahkan hanya seorang pemuda yatim
yang berstatus duda dari wilayah Hayna.
Pada
keduanya telah terjalin tafahum (saling memahami) tingkat tinggi. Bukan
sekedar hubungan murid dengan guru semata akan tetapi lebih jauh dari itu
adalah ta’akhi (persaudaraan) yang kental dan mendalam. Hubungan yang
dirajut karena kecintaan kepada Allah semata dan jauh dari baju kepura-puraan,
pura-pura shaleh, pura-pura ‘alim dan taqwa. Jadi Said Bin Musayyib meluluskan
putrinya menikah dengan tak ada penilaian yang bersifat materi keduniaan dalam
jiwa dan benaknya.
Tak berapa
lama kemudian, Said Bin Musayyib memanggil beberapa orang muridnya yang
kebetulan masih berada di dalam masjid. Ketika mereka ada di dekatnya, saat itu
juga Said Bin Musayyib mengucapkan lafadz hamdalah dan shalawat atas
Rasulullah saw… lalu disebutlah lafadz akad nikah antara putrinya dan Abu
Wada’ah. Maharnya adalah uang senilai dua dirham.
Berbagai
perasaan gembira, haru, bingung bercampur dalam hati Abu Wada’ah. Setelah
selesai acara ‘aqad nikah yang sangat sederhana itu, ia segera pamit pulang ke
rumahnya.
“Siang itu
sebenarnya aku tengah puasa, tapi peristiwa itu menjadikan aku hampir lupa
dengan puasaku…” Ungkap Abu Wada’ah dalam hati.
Sungguh
bahagia Abu Wada’ah, saat segala takdir harus diterima dengan pasrah, saat
Allah memberi kecukupan dengan karunia yang mungkin ‘terlihat’ apa adanya, saat
rezeki yang bersahaja harus dipandang sebagai anugrah tak terkira, saat orang
percaya atau tidak percaya, bahwa sesungguhnya engkau telah mendapat anugrah
terindah…
Kilatan
cahaya pikiran itu terus menerus menerangi sehingga membuka kesadaran yang
hakiki. Hingga tiba adzan maghrib dan dia harus membatalkan puasanya. Selesai
melakukan shalat maghrib, ia bersiap untuk ifthar dengan sepotong roti
dan minyak.
Sementara di
tempat lain Said Bin Musayyib setelah menyelesaikan prosesi akad nikah di
Masjid Nabawi tadi, beliau kemudian pulang ke rumahnya dan mendapati putrinya
tengah membaca Al-Qur’an.
“Apa yang
sedang engkau lakukan wahai putriku?”
“Aku sedang
membaca kitabullah wahai ayah…..”
“Apakah
engkau memahaminya?”
“Ya, duhai
ayahku. Tetapi, ada satu ayat yang aku belum bisa memahaminya sama sekali.”
“Ayat apakah
itu wahai putriku?” tanya sang ayah dengan penuh keheranan.
“Yaitu
firman Allah:
‘Dan di
antara mereka ada orang yang berdoa, ‘Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami
kebaikan di dunia dan juga di akhirat, serta peliharalah kami dari siksa
neraka’.’ (Al-Baqarah
: 201)
”Duhai
ayahku, aku telah mengetahui bahwa kebaikan akhirat adalah jannah, lalu apakah
yang dimaksud dengan kebaikan dunia?”
Sang ayah
kemudian menjelaskan dengan penuh hangat, “Duhai putriku, kebaikan dunia adalah
ketika seorang istri yang shalihah mendapatkan suami yang shalih. Hari ini
Allah telah memberikan nikmat kepadamu dengan seorang suami yang shalih, maka
bersiaplah untuk memasuki malam pertama bersamanya….”
Di rumahnya
Abu Wada’ah belum tuntas menikmati sajian iftharnya berupa satu atau dua potong
roti, tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintu rumahnya. Kemudian dia
berdiri untuk membuka pintu.
“Siapa di
luar…?” tanya Abu Wada’ah.
“Saya Said,“
Jawab suara dari luar
Suara itu
segera dikenalnya, yang tidak lain adalah Said Bin Musayyib. Ada apa gerangan?
Karena saat itu sebenarnya Abu Wada’ah masih diliputi perasaan grogi dan cemas.
Dalam benaknya, mungkin saja kedatangan syaikh Said hendak membatalkan urusan
pernikahan ini, atau mungkin saja mempelai putri menolak menjadi istrinya.
Tetapi, ketika dibuka pintu rumahnya, ternyata imam Said datang bersama
putrinya yang telah memakai gaun pengantin
“Apa yang
membuat Anda tergesa-gesa datang kemari wahai Syaikh?” Abu Wada’ah pun bertanya
kepada sang imam.
“Sesungguhnya
Allah membenci jika salah seorang di antara kita bermalam tanpa memiliki istri.
Sehingga, setan tidak mengganggunya wahai Abu Wada‘ah. Inilah aku bawakan
istrimu, semoga engkau diberkahi dengannya, dan semoga ia juga mendapatkan
barakah denganmu, serta mengumpulkan kalian berdua dalam naungan kebaikan.”
Kemudian
Said Bin Musayyib meninggalkan putrinya di rumah Abu Wada’ah. Saat itu juga Abu
Wada’ah berlari dan naik ke atap rumahnya dan memanggil seluruh tetangganya.
Seketika itu pula, para tetangganya berhamburan mendatanginya dan bertanya,
“Ada apakah
gerangan wahai Abu Wada‘ah sehingga engkau memanggil kami?” Tanya para
tetangganya.
“Said Bin
Musayyib telah menikahkanku dengan putrinya. Beliau telah datang kepadaku malam
ini untuk menyerahkan putrinya kepadaku. Dan sekarang, putrinya telah
bersamaku.” Abu Wada’ah mengumumkan perihal keadaannya kepada mereka.
Para
tetangga kemudian mendatanginya dan membantu hajat Abu Wada’ah. Kaum wanita
mempersiapkan pengantin putri dan kaum lelaki mempersiapkan Abu Wada’ah agar
bertemu dengan istrinya dalam keadaan terbaik. Dalam walimah sederhana itu
tidak ada permainan dan perbuatan yang sia-sia.
Kemudian
para undangan pulang ke rumahnya masing-masing dengan mendapatkan balasan dari
Allah dan juga rasa terima kasih dari Abu Wada’ah. Mempelai laki-lakipun
kemudian masuk ke rumah menemui istri barunya. Ternyata, ia adalah wanita yang
sangat cantik, paling hafal dengan kitabullah, paling tahu dengan sunnah
Rasulullah dan paling paham akan hak-hak suami.
Setelah
berlalu masa sepekan dari pernikahannya, diapun kemudian meminta ijin kepada
istrinya untuk keluar.
“Hendak ke
mana duhai suamiku?”
“Hendak
menghadiri majelis ilmu Said Bin Musayyib….”
“Duduklah di
sini saja duhai suamiku. Akan aku ajarkan kepadamu ilmu Said Bin Musayyib….”
Istrinya berkata dengan penuh hangat,
Lantas, Abu
Wada’ah pun duduk bersamanya mengkaji ilmu agama. Suatu waktu, Said Bin
Musayyib menengok keadaan Abu Wada’ah dan istrinya.
“Mengapa
sekarang engkau tak lagi menghadiri halaqah wahai Abdullah?”
“Karena aku
telah mendapati pada putri Said ilmunya Said,” Jawab Abdullah.
Kebahagiaan
tetaplah rahasia Ilahi, meskipun sejuta manusia menggapai langit dan menggali
bumi. Kebahagiaan sejati hanya dilandasi keyakinan akan takdir sehingga
menjunjung manusia kearah ketabahan, kepasrahan, keteduhan hati dan keikhlasan,
bak mutiara terpendam yang menyorotkan cahaya pasrah, menyambut keridhaan
Ilahi. Peneladanannya terhadap Nabi saw. menggeser segala kesukaannya terhadap
segala penghuni bumi. Itulah sebabnya, kehambaannya bertahan walau cobaan
menerpa. Abu Wada’ah berbahagia dengan takdirnya, maka keabadian menghampirinya
dengan segala keindahannya. Surga dunia, juga surga Akhirat.
Sumber: Shuwarun
Min Hayaati at-Taabi’iin oleh Dr Abdurrahman Ra`fat al-Basya dan Al-Mukhtâr
min qishasil Akhyâr oleh Musthafa Syaikh Ibrahim Haqqi.